Tentang Siapa yang Lebih Baik
Shalat berjamaah bersama keluarga menjadi suatu agenda
wajib yang dinanti-nanti ketika pulang. Apalagi bagi anak rantau yang terbiasa
shalat sendiri di kos, shalat berjamaah di rumah itu sudah seperti obat penenang
untuk jiwa yang lelah berkutat dengan segala hal tentang perkuliahan. Mendengar
Bapak melantunkan Al-Fatihah, berdoa bersama, dan salam-salaman dengan kondisi
full team itu…..nikmat sekali. Alhamdulillah
.فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan"
Namun, ada sesuatu yang agaknya mengusikku di liburan
ini.
Beberapa kali kuperhatikan adikku perlu dimotivasi
lebih untuk shalat tepat waktu. Usianya hampir 17 tahun, wajar saja kan kalau
aku sebagai kakak was-was? Aku cuma takut kalau dia jadi terbiasa, sibuk
ini-itu tapi lalai dengan kewajiban utamanya. Sebelum dia kuliah tahun depan,
aku ingin dia sudah punya prinsip yang kuat tentang hal ini, jadi ketika
dilepas sendiri dia nggak mudah terbawa arus yang kurang baik.
“Kak Nis aja waktu seumur kamu nggak
kayak gitu lho. Yuk dek shalat, jangan sampe kena tegur dulu sama Allah baru kapok
loh,” kataku mengingatkan. Dan seperti kebanyakan remaja seusianya adikku hanya
menjawab dengan ekspresi datar “ya, ya”. Waktu itu hanya ada aku dan adikku di rumah,
sehingga kami hanya solat berjamaah berdua saja di rumah. Kuamati lagi, belum
sampai satu menit terlewati selepas shalat, adikku sudah berdiri dan
membereskan mukenahnya, aku hanya berpura-pura tidak tahu saja dan melanjutkan
doaku, memohon dan meminta kepada Ar-Rahman sekaligus Ar-Rahim atas kemudahan
rezeki, kekuatan atas berbagai cobaan, keteguhan diri dan ketenangan jiwa pada
diriku.
Ternyata hal yang sama tak hanya
terjadi pada hari itu, keesokan harinya kutemui hal serupa, seperti hanya
menggugurkan kewajiban, belum sampai semenit selepas salam shalat, dia sudah
berdiri dan melanjutkan aktivitasnya yang lain. “Cepet amat ni anak doanya,
beneran doa ga sih” batinku dalam hati. Karena penasaran, apalagi bukan sekali
ini saja dia bersikap seperti ini, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.
Untungnya, dalam keluarga kami tidak menyimpan rahasia apapun, bagi kami
keterbukaan adalah kunci untuk keluarga yang saling percaya, jadi apapun itu, tak ada yang ditutup-tutupi dalam keluarga.
o “Ta, aku mau nanya”
·
“Apa?”
o “Kamu tuh kalo doa habis shalat, doanya gimana?”
·
“KEPO IK” –jawaban
yang sudah ku duga, dengan aksen khas Semarang nya.
o “Beneran nanyaaaa..” kataku, sedikit mendesak (hehe)
·
“Mmm. Biasa aja. Allahumaghfirli
waliwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayaani saghiira. Yaa Allah, panjangkanlah
umur bapakku, mamaku, dan kakakku. Aamiin.”
o “Udah itu aja?”
·
“Iya, kenapa sih ?”
JLEB
Rasanya seperti ada tamparan yang dilemparkan kepadaku. Bukan, bukan karena pendek atau ketusnya jawabannya, tapi karena substansi doanya.
Adikku, yang aku ragukan doanya,
yang aku khawatirkan shalatnya, ternyata lebih mulia hatinya, Di waktu doanya
yang terbatas, yang ia doakan bukan dirinya sendiri, melainkan keluarganya. Ia
tahu Allah Maha Mengabulkan Doa, tapi yang ia minta sesederhana ampunan dan
panjang umur bagi keluarganya.
Aku malu. Malu semalu-malunya.
Bisa-bisanya aku meremehkan doa adikku yang sebentar itu dan merasa aku lebih
baik dengan doaku yang lebih lama (tapi
ternyata sebagian besar adalah harapan untuk diriku sendiri. Egois sekali doaku
ya Allah.) Padahal, bisa jadi apa-apa yang Allah berikan kepadaku selama
ini bukan merupakan jawaban dari doaku, tapi dari doa adikku, atau bahkan doa
dari orang lain disekitarku. Astaghfirullah hal adziim..
Entah kenapa pikiranku melayang
jauh, teringat akan kisah Iblis dan penciptaan Adam. Bukankah Iblis juga
dimurkai oleh Allah karena merasa ia lebih baik dari Adam? Bukankah perasaan
“aku lebih baik” itu menyebabkan Iblis menjadi sombong sehingga tidak menaati
perintah Allah? Aku teringat, pernah mencatat di salah satu kajian,
-berhati-hatilah kalian, ada beberapa hal yang dapat menjadikan suatu
peribadatan menjadi dosa, yakni jika engkau disekitari oleh orang-orang engkau
riya akan ibadahmu, dan ketika engkau sendiri, engkau menaruh rasa bangga yang
amat tinggi serta menaruh rasa aku lebih baik dalam ibadahmu-.
Yaa Allah, naudzubillahi min dzalik. Semoga Allah jauhkan
kita dari “merasa lebih baik” yang berujung ke jurang kesombongan. Semoga Allah
jaga kita agar senantiasa bersemangat dalam mengajak saudara-saudara kita dalam
kebaikan, tanpa menghakimi, apalagi mencaci maki. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin..
Ditulis oleh insan yang senantiasa menginspirasi, karena baginya hidup hanya satu kali, hiduplah dengan bermanfaat. Nisa Fajriani, Mahasiswa Kedokteran 2016
Komentar
Posting Komentar