Review Buku Tetralogi Laskar Pelangi
REVIEW
BUKU
Judul : Tetralogi Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Oleh : Rizki Rinaldi
Buku Pertama: Laskar Pelangi
Di sekolah ini aku memahami arti keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis perguruan ini mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar Islam yang mulia, keberaniaan untuk merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui pengorbanan tanpa pamrih. (halaman 85)
Sebelas orang anak melayu Belitong
yang dihempas tanah kenyataan, berada di salah satu pulau terkaya pada
jamannya, namun dipisah pagar-pagar kekuasaan. Cerita pada buku pertama ialah
lautan bebas untuk diselami berbagai macam ironi di masyarakat kita, bahwa
terdapat ketimpangan dalam perahu retak yang sedang berlayar, celakanya ketimpangan
sering kali dibiarkan dan dipelihara, itulah yang menimpa anak-anak melayu
Belitong yang diceritakan dengan perspektif penulis bergelar ikal. Buku ini
memang menyuruh kita untuk belajar mengenai kejujuran dengan memahami pemikiran
mereka, mencicipi keindahan melalui perjuangan mereka, ada saat dimana anda
bisa menangis, anda bisa tertawa, dan anda bisa marah ketika membaca buku ini. Satu
tema besar pada kisah ini ialah pendidikan, orang bilang pendidikan adalah
gerbang yang mengantarkan masyarakat untuk terus naik ke tingkat sosial ekonomi
yang lebih tinggi, mengentaskan kemiskinan, tapi ternyata pendidikan pun sering
abai tak dikunjungi dan diperhatikan, itulah yang digambarkan oleh penulis
bahwa pendidikan yang mereka dapati sebatas ruangan kecil yang lebih mirip Gudang
kopra, yang pada malam beriak wujudnya menjadi kendang kambing, tapi diisi oleh
anak-anak tulus dan jujur, diisi oleh bijak pandai yang selalu berpikir jauh
pada pelajaran anak-anaknya.
Tengoklah
Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda
80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu—bahkan terkadang
hanya untuk menyanyikan Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar, seorang
pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak
logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil
mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Dan juga
sembilan orang Laskar Pelangi lain yang begitu bersemangat dalam menjalani
hidup dan berjuang meraih cita-cita.
Buku Kedua: Sang Pemimpi
Biar kau tahu Ikal, orang-orang seperti kita tak punya apa-apa, kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi itu! … Tanpa mimpi orang-orang seperti kita akan mati. –Arai pada Ikal (halaman 143)
Kisah-kisah disini adalah
kumpulan lantunan kehidupan yang mempesona, ini adalah sebuah bujuk rayu yang
pada akhirnya akan menarik anda untuk percaya pada kekuatan cinta, kasih
sayang, percaya pada kekuatan mimpi, perjuangan yang berbalut pengorbanan. Pada
buku ini, anda harus menerobos sudut-sudut pemikiran di mana Anda akan
menemukan pandangan yang berbeda tentang nasib, tantangan intelektualitas, dan
kegembiraan yang meluap-luap, sekaligus kesedihan yang mengharu biru. Pada
akhirnya, mereka tak pernah mendahului nasib, karena nasib lebih mencari mereka
daripada mereka mencari nasib, nasib lebih tau letak orang-orang yang berjuang.
Buku Ketiga: Edensor
Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!
Kembali buku ini mengantarkan
kita kepada kekuatan daya imaji dan perjuangan, bahkan sebenarnya buku ini
adalah titik terdekat tulisan ini dengan puncak perjuangan seorang bergelar
ikal yang sudah bercerita kepada penulis sejak sekolahnya di Gudang kopra. Pada
akhirnya dari kisah disini satu pesan sudah pasti, berani saja bermimpi, tuhan
akan memeluk mimpi-mimpimu.
Sayangnya pada buku ketiga ini
juga arah dari tetralogy ini mulai bergeser, karakter yang hadir tidak memiliki
pesona sekuat orang-orang yang kita kenal dahulu di buku sebelumnya, mereka
hanya ada, namun tidak terasa pentingnya. Satu tema yang akhirnya akan
diteruskan pada buku selanjutnya dibawa dengan tidak meyakinkan, tidak seperti bagaimana
Ikal bercerita tentang pendidikan dan perjuangnya menghadap ketimpangan, tema
cinta yang diceritakan Ikal serasa tidak bersambung dengan daya imaji pembaca
yang sudah hidup sejak cerita pertama, kisah yang disampaikan berkali-kali,
tapi tetap tidak berhasil menggugah dan memberikan kepercayaan.
Buku Keempat: Maryamah Karpov
Aku telah mengidap sakit gila nomor enam belas: yakni penyakit manusia yang membuat dunia sendiri dalam kepalanya, menciptakan masalah-masalahnya sendiri, terpuruk di dalamnya, lalu menyelesaikan masalah-masalah itu, sambil tertawa-tawa, juga sendirian.
Kisah disini adalah penegasan dari salah satu tema yang dibawa pada kisah Edensor, yaitu perjuangan mencari cinta antara si Ikal yang mencari A Ling, aneh memang, A Ling yang pergi entah kenapa dicari di eropa, tempat yang rendah berkemungkinan, kemudian pada kisah di buku keempat pencarian justru berpindah jauh ke pulau lanun, tempat mereka yang gagal menggelapkan diri ke kota besar letak kekayaan, Singapura. Saya menikmati beberapa kisah yang disampaikan dalam penutup tetralogy ini, walaupun memang sampai akhir cerita, tema pencarian cinta mengejar A Ling tetap tidak terasa bersambung pada hati saya sebagai pembaca, tapi Maryamah Karpov bukan hanya berisi romans gilanya saja. Pada buku inilah kita bisa belajar keteguhan hati seorang ayah, yang diceritakan pendiam tapi paling bijaksana dan menyayangi, tentang roda pedati bernama nasib yang terus menerus mengantarkan manusia melalui siang dan malam keatas dan kebawah, pegawai-pegawai kaya di Belitong sudah tidak ada lagi karena timahnya telah jatuh dipasaran global, orang-orang miskin di Belitong, masih menjadi miskin lantaran salah satu sifat malas tak pernah diusir, serta kritik sosial terhadap perangai orang melayu, mulai dari yang sederhana seperti memberi gelar yang tidak-tidak pada orang lain, perangai bertaruh, hingga kegagapan dalam menghadapi perubahan zaman, seperti saat masyarakatnya bertemu dengan dokter yang tidak dipercaya, enggan pergi ke dokter dan memilih ke sebrang tempat praktiknya untuk menemui dukun gigi, gagap dalam memahami keilmuan yang dibawa perantau maupun orang asli yang baru pulang dari pendidikan, dan semua kritik sosial tersebut tersampaikan dengan terkadang mengundang gelak, tangis, atau bahkan bingung.
-Rizki Rinaldi
Komentar
Posting Komentar