Kecondongan Hati
Tidak ada seorangpun, ketika Allah menciptakannya, Allah pula yang memberinya kecenderungan dan kebebasan memilih. Tak seorangpun tercipta kecuali ia memiliki potensi untuk menerima atau pula menolak sesuatu. Bila telah hilang potensi tersebut, tiada lagi berkecondongan, berarti ia telah kehilangan dirinya, kehilangan rahasia wujudnya. Ia seperti pohon kering yang daun-daunnya berguguran, tidak menghijau dan tidak hidup. Atau seperti pohon yang tidak berbuah, hidup tapi seperti mati. Ia tidak punya pengaruh dalam kehidupan karena hanya dapat mengambil tetapi tidak dapat memberi, tiada membawa manfaat, tiada pula berbekas, ibarat tunggul pohon yang telah mati.
Ada sejumlah kalangan yang bukan nabi juga bukan syuhada, tetapi kedudukannya di sisi Allah membuat para nabi dan para syuhada iri hati. Mereka dapat menyingkap rahasia Allah dalam dirinya, yakni anugrah-anugrah indra: telinga, mata, dan hati. Mereka membangkitkan dan memeranginya dengan ibadah dan ketaatan, sehingga menyala dan berkobar-kobar. Dari dalam jiwa dan hatinya muncul luapan gelombang yang mampu mengharu biru hati manusia sehingga menjadikannya lunak di hadapan Allah swt. Hati dan perasaan menjalin hubungan yang demikian harmonis, dan tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, namun kita dapat merasakan kebahagiaan dengannya.
la menjelma
menjadi khayalan indah yang melayang-layang. Ia pun lalu berubah menjadi "besi
berani" yang dapat menarik ruh dan hati. Tak seorang pun yang tidak
mempunyai perasaan seperti ini, walau hanya sedikit. Seorang pribadi yang hebat
adalah yang mendapat petunjuk Allah ke tempat persembunyian perasaan ini,
sehingga menambah kekuatan dan gairahnya. Allah swt. berfirman,
"Wahai orang-orang
yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian."
(Al-Anfal:24)
Sementara
orang-orang yang kering hatinya dan berkarat jiwanya, telah Allah nyatakan,
"Kemudian setelah
itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di
antara batu-batu itu sungguh ada sungai-sungai yang mengalir darinya, dan di
antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, dan di
antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh kerana takut kepada Allah. Dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari yang kalian kerjakan."
(Al-Baqarah: 74)
Ayat ini telah
menjelaskan bahwa batu itu sensitif. Bahkan ia meluncur jatuh karena takut
kepada Allah. Tetapi kita tidak memiliki peralatan yang dapat membuka rahasia,
bagaimana batu itu dapat sensitif. Namun kita yakin (melalui ayat) tersebut bahawa
ia memang sensitif, takut, dan melekat satu sama lain karena takut-nya kepada
Allah.
Bila batu saja
sensitif, gemetaran, dan melekat satu sama lain karena takut kepada Allah, lalu
bagaimana dengan manusia yang banyak diberikan oleh Allah kenikmatan yang
besar, seperti akal, perasaan, dan hati sebagai tempat penitipan rahmat. Allah
berfirman,
"Berkata Musa, 'Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan
mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya
mereka mengerti perkataanku“. (Thaha: 25-28)
-Rizki Rinaldi
Komentar
Posting Komentar