Orang Terusir

Jika kawan berkenan, tolonglah dengar ceritaku, yang disangkakan orang akan menjadi buangan zaman.

Dengan sampainya kabar kepadaku dari seorang kontelir di kantornya, rasa kecewa menjadi sentimen paling besar dalam pribadiku waktu itu, aku berjuang dan kemudian dibuang.

“Karena menyebarkan kebencian dan berbahaya bagi keamanan keamanan dan ketentraman umum menurut pasal 37 Indische Staatsregeling dan putusan Dewan Hindia”

Pada akhirnya aku dan beberapa orang kawanku tak pernah mendapatkan tuduhan yang nyata, tidak ada pelanggaran lisan, maupun tulisan di surat kabar yang bisa dijadikan sebagai tuduhan yang bisa dihukum. Aku adalah korban kedurjanaan, kepulanganku dari negeri belanda untuk menjaga api perjuangan yang hampir padam saat Soekarno ditangkap belanda berbuah tuduhan palsu dan pengasingan ke tempat yang sangat jauh, yang banyak orang jawa dan melayu bahkan belum pernah melihatnya..

Sentimen kecewa lahir karena aku menghadapi keraguan dan penderitaan batin, apa guna semua ini? Putusan yang sebenarnya bukan hanya menyedihkan hatiku tapi terlebih lagi menyedihkan hati keluarga, hati orang-orang yang menyayangi dan mencintaiku. Semua kesedihan dari hati orang yang mencintai tadi adalah karena aku ingin mengabdi untuk bangsaku.

Tiga hari waktu yang diberikan kepadaku untuk keluar bui mengemas seluruh buku-buku yang ingin dibawa menjadi tiga hari yang paling berharga, tentang pengusiranku ialah apa yang telah lama aku sangkakan tapi kadang juga aku sangkalkan dengan naif ku sekarang sudah tidak lagi menjadi beban, sudah damai aku dengan orang yang dicinta, hati mereka masih bersedih, tapi mau dikatakan apa? Sudahlah jatuh putusan dan berakhirlah masa ragu-ragu. Aku dan bangsaku, walau terkadang kami tidak saling mengerti, kadang sikap bangsaku yang terlalu malas membuat aku putus asa, kadang sikapnya yang menunduk hingga tak mau melakukan apa-apa membuat aku jadi tidak sabar, kadang membuat pahit, tapi justru sekarang ini aku merasa lebih erat kepada bangsaku, aku lebih-lebih mencintainya dari yang sudah-sudah, nasib dan tujuan hidupku adalah satu; kami senasib dan sepenanggungan dan tetap senasib dan sepenanggungan, di masa lalu dan di masa depan.

Besok kami tiba di Makassar, sudah hari ketiga perjalanan laut dan sempat sekali aku mabuk laut, aku dan kawanku didudukkan sebagai seorang “intelektual” sedangkan yang lain harus berlayar sebagai penumpang dek biasa, aku lupa sudah berapa bulan karena tak pernah kuitung masaku dibui hanya tidur diatas papan keras, kadang juga hanya lantai yang dingin, dengan dibedakannya perlakuanku di kapal itu berarti kami pindah dari papan ke kasur yang baik dan juga ber-per.

Sejujurnya kawan, perubahan perlakuan ini tidak memberiku kesenangan, mungkin penderitaan telah menebalkan kulitku akan kesenangan atas perbedaan perlakuan tersebut. Awal mula ingin temanku sempat protes, tapi mungkin dilihatnya aku yang bisa ikut terjerat dalam protesnya akhirnya mengurungkan niat, padahal kalau dia bersungguh-sungguh meniatkan untuk protes akupun tak terlalu mempermasalahkannya.

Ada baiknya pelayaran kami ini, biarpun bagaimana lebih enak berlayar sebagai penumpang dek daripada hidup dalam penjara, kelihatannya malahan seperti kami sedang dalam pelesir-pelesir. Sebab itu dari awal aku bersedia akan mengecap kenikmatan pelayaran ini sebanyak-banyaknya, walaupun aku tidak akan mendapatkan kenikmatan itu.

Kami sampai dan menunggu di Ambon, tidak seperti di Jawa dan Makassar, disini kami tidak dikurung sama sekali, waktu di Surabaya dan di Makassar masyarakat tak boleh ditampakkan muka kami, tapi di sini kelihatan benar bahwa kami sebenarnya sudah terasing. Buktinya ialah tidak ada orang yang tahu kedatangan kami kesini, dan tidak ada yang kelihatannya kepingin tahu atau mendengar tentang pengasingan kami.

Kawan, betapa indah bagian timur negeri ini. Di dalam perjalanan kemarin sudah banyak kami melihat keindahan itu. Sepanjang pantai Sulawesi laut biru indah, kadang-kadang terang dan jernih seperti parlemur, kadang-kadang biru gelap, tapi selalu suci permai. Laut terus tenang, jadi kami menikmati indahnya pantai dan gunung-gunung Sulawesi, pulau-pulau putih dan hijau yang dipeluk oleh kebiruan lautan, mandi dalam cahaya surya keemas-emasan dan kadang-kadang keperak-perakan. Apabila matahari melukis warna-warni emas dan perak di atas laut yang biru dan gunung-gunung yang biru kehijau-hijauan. Seolah kita dibawa ke negeri dongeng.

Berangkat dari Ambon, laut-laut yang kami lalui masyhur oleh keindahannya, tapi juga ditakuti oleh karena garangnya dan angin badainya. Untunglah yang kemudian tidak kami alami, udara terus indah-indah saja dan kami beroleh kesenangan dengan bagian negeri yang permai ini.

Tatkala matahari terbenam kami meninggalkan Ambon. Laut dan langit biru jernih. Di belakang kami gunung-gunung yang hijau kebiru-biruan. Cahaya emas sang surya, yang dengan cepat bertambah merah, menjadikan laut berkilau-kilauan dengan ribuan cahaya-cahaya. Di atas laut yang hidup itu, penuh dengan warna gerlap gemerlap, kapal layar kecil-kecil, ramping, cepat, penuh kesenangan hidup, dan seperti riak-riak kecil bermain-main. Aku berdiri di atas geladak sampai hilang cahaya, dan gunung-gunung gelap dan duka bertambah nyata di atas langit yang hilang kebiruannya. Maka tersembullah bulan. Menjadilah alam laksana dunia dongengan, begitu lembut, begitu tenang, dan membuatku ngimpi-ngelamun. Maka kelihatan lagi jutaan cahaya di atas laut. Gunung-gunung tiada duka lagi, kelihatan lagi seperti ramah-ngelamun. Aku tidak berpikir, bahkan aku tidak merasa, aku lupa di mana aku, aku lupa akan diriku, aku hilang di dalam alam yang indah ini.

Di Tual kami sempat berhenti dan berangkat lagi waktu matahari terbenam. Inilah saat matahari terbenam seindah-indahnya yang pernah aku lihat selama perjalanan ini. Langit agak berawan dan sebelum menyelam ke dalam air, matahari itu hilang di belakang sejumput awan. Tatkala ia kembali keluar, warnanya merah pijar dan seluruh awan bermandikan cahaya itu, berjuta-juta cahaya merah berkilau-kilau di atas muka laut. Segera setelah itu lautan seribu warna dari merah dan lembayung hingga berbagai warna-warni hijau dan kuning. Satu jurai cahaya merah tetap nyata kelihatan, tepat antara dua pulau hijau kecil, yang makin lama makin gelap dengan bertambah pudarnya cahaya merah itu. Sebuah perahu yang didayung oleh satu orang saja, datang laksana bayangan mendekati jurai cahaya merah itu dan satu saat lamanya perahu itu benderang ditimpa terang dan menjadikan perahu dan pendayung itu kehidupan di dalam keindahan alam yang bening dan agung.

Tatkala aku menoleh ke belakang, kulihat bahwa matahari itu hanya menguasai separuh alam, sebab di belakangku nampak dunia yang lain, dunia sang rembulan. Sedangkan dunia yang satu dipesona oleh matahari dan awan, dalam pada itu bulan telah menaklukkan separuh dunia yang lain dengan cahayanya yang dingin. Ia telah muncul dari belakang sebuah gunung, yang sekarang kelihatan pula biru gelap seperti biasa dan jelas pada penglihatan ia tambah lama tambah bersih dan jernih. Seolah-olah ia menghalau ke muka permainan matahati, sehingga akhirnya ia mencelup seluruh alam di dalam cahayanya yang lembut bernuansa impian. Maka tampaklah pula berjuta-juta kerlipan cahaya keperak-perakkan di muka laut, di atasnya bulan dan beribu-ribu bintang. Semuanya tenang dalam harmoni dan mimpi.

Oh negeriku.

Akan kusambung ceritaku nanti saat aku telah sampai di Tanah Merah.

 

*Sedikit penceritaan dengan mengambil sudut lain dari cerita pengasingan orang-orang yang dahulu dibuang ke Digul, mengambil cerita dari catatan bung Hatta dan surat Sutan Sjahrir.

-Rizki Rinaldi

 

 






 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Kepulangan Matahari

Mencuri Sepertiga Malam

Review Buku Tetralogi Laskar Pelangi