Orang Terusir
Jika
kawan berkenan, tolonglah dengar ceritaku, yang disangkakan orang akan menjadi
buangan zaman.
…
Dengan
sampainya kabar kepadaku dari seorang kontelir di kantornya, rasa kecewa
menjadi sentimen paling besar dalam pribadiku waktu itu, aku berjuang dan
kemudian dibuang.
“Karena
menyebarkan kebencian dan berbahaya bagi keamanan keamanan dan ketentraman umum
menurut pasal 37 Indische Staatsregeling dan putusan Dewan Hindia”
Pada
akhirnya aku dan beberapa orang kawanku tak pernah mendapatkan tuduhan yang
nyata, tidak ada pelanggaran lisan, maupun tulisan di surat kabar yang bisa
dijadikan sebagai tuduhan yang bisa dihukum. Aku adalah korban kedurjanaan,
kepulanganku dari negeri belanda untuk menjaga api perjuangan yang hampir padam
saat Soekarno ditangkap belanda berbuah tuduhan palsu dan pengasingan ke tempat
yang sangat jauh, yang banyak orang jawa dan melayu bahkan belum pernah
melihatnya..
Sentimen
kecewa lahir karena aku menghadapi keraguan dan penderitaan batin, apa guna
semua ini? Putusan yang sebenarnya bukan hanya menyedihkan hatiku tapi terlebih
lagi menyedihkan hati keluarga, hati orang-orang yang menyayangi dan
mencintaiku. Semua kesedihan dari hati orang yang mencintai tadi adalah karena
aku ingin mengabdi untuk bangsaku.
Tiga
hari waktu yang diberikan kepadaku untuk keluar bui mengemas seluruh buku-buku
yang ingin dibawa menjadi tiga hari yang paling berharga, tentang pengusiranku
ialah apa yang telah lama aku sangkakan tapi kadang juga aku sangkalkan dengan
naif ku sekarang sudah tidak lagi menjadi beban, sudah damai aku dengan orang
yang dicinta, hati mereka masih bersedih, tapi mau dikatakan apa? Sudahlah
jatuh putusan dan berakhirlah masa ragu-ragu. Aku dan bangsaku, walau terkadang
kami tidak saling mengerti, kadang sikap bangsaku yang terlalu malas membuat
aku putus asa, kadang sikapnya yang menunduk hingga tak mau melakukan apa-apa
membuat aku jadi tidak sabar, kadang membuat pahit, tapi justru sekarang ini
aku merasa lebih erat kepada bangsaku, aku lebih-lebih mencintainya dari yang
sudah-sudah, nasib dan tujuan hidupku adalah satu; kami senasib dan
sepenanggungan dan tetap senasib dan sepenanggungan, di masa lalu dan di masa
depan.
…
Besok
kami tiba di Makassar, sudah hari ketiga perjalanan laut dan sempat sekali aku
mabuk laut, aku dan kawanku didudukkan sebagai seorang “intelektual” sedangkan
yang lain harus berlayar sebagai penumpang dek biasa, aku lupa sudah berapa
bulan karena tak pernah kuitung masaku dibui hanya tidur diatas papan keras,
kadang juga hanya lantai yang dingin, dengan dibedakannya perlakuanku di kapal
itu berarti kami pindah dari papan ke kasur yang baik dan juga ber-per.
Sejujurnya
kawan, perubahan perlakuan ini tidak memberiku kesenangan, mungkin penderitaan
telah menebalkan kulitku akan kesenangan atas perbedaan perlakuan tersebut.
Awal mula ingin temanku sempat protes, tapi mungkin dilihatnya aku yang bisa
ikut terjerat dalam protesnya akhirnya mengurungkan niat, padahal kalau dia
bersungguh-sungguh meniatkan untuk protes akupun tak terlalu
mempermasalahkannya.
Ada
baiknya pelayaran kami ini, biarpun bagaimana lebih enak berlayar sebagai
penumpang dek daripada hidup dalam penjara, kelihatannya malahan seperti kami
sedang dalam pelesir-pelesir. Sebab itu dari awal aku bersedia akan mengecap
kenikmatan pelayaran ini sebanyak-banyaknya, walaupun aku tidak akan
mendapatkan kenikmatan itu.
…
Kami
sampai dan menunggu di Ambon, tidak seperti di Jawa dan Makassar, disini kami
tidak dikurung sama sekali, waktu di Surabaya dan di Makassar masyarakat tak
boleh ditampakkan muka kami, tapi di sini kelihatan benar bahwa kami sebenarnya
sudah terasing. Buktinya ialah tidak ada orang yang tahu kedatangan kami
kesini, dan tidak ada yang kelihatannya kepingin tahu atau mendengar tentang
pengasingan kami.
Kawan,
betapa indah bagian timur negeri ini. Di dalam perjalanan kemarin sudah banyak
kami melihat keindahan itu. Sepanjang pantai Sulawesi laut biru indah,
kadang-kadang terang dan jernih seperti parlemur, kadang-kadang biru gelap,
tapi selalu suci permai. Laut terus tenang, jadi kami menikmati indahnya pantai
dan gunung-gunung Sulawesi, pulau-pulau putih dan hijau yang dipeluk oleh
kebiruan lautan, mandi dalam cahaya surya keemas-emasan dan kadang-kadang
keperak-perakan. Apabila matahari melukis warna-warni emas dan perak di atas
laut yang biru dan gunung-gunung yang biru kehijau-hijauan. Seolah kita dibawa
ke negeri dongeng.
Berangkat
dari Ambon, laut-laut yang kami lalui masyhur oleh keindahannya, tapi juga
ditakuti oleh karena garangnya dan angin badainya. Untunglah yang kemudian
tidak kami alami, udara terus indah-indah saja dan kami beroleh kesenangan
dengan bagian negeri yang permai ini.
Tatkala
matahari terbenam kami meninggalkan Ambon. Laut dan langit biru jernih. Di
belakang kami gunung-gunung yang hijau kebiru-biruan. Cahaya emas sang surya,
yang dengan cepat bertambah merah, menjadikan laut berkilau-kilauan dengan
ribuan cahaya-cahaya. Di atas laut yang hidup itu, penuh dengan warna gerlap
gemerlap, kapal layar kecil-kecil, ramping, cepat, penuh kesenangan hidup, dan
seperti riak-riak kecil bermain-main. Aku berdiri di atas geladak sampai hilang
cahaya, dan gunung-gunung gelap dan duka bertambah nyata di atas langit yang
hilang kebiruannya. Maka tersembullah bulan. Menjadilah alam laksana dunia
dongengan, begitu lembut, begitu tenang, dan membuatku ngimpi-ngelamun. Maka
kelihatan lagi jutaan cahaya di atas laut. Gunung-gunung tiada duka lagi,
kelihatan lagi seperti ramah-ngelamun. Aku tidak berpikir, bahkan aku tidak
merasa, aku lupa di mana aku, aku lupa akan diriku, aku hilang di dalam alam
yang indah ini.
…
Di Tual
kami sempat berhenti dan berangkat lagi waktu matahari terbenam. Inilah saat
matahari terbenam seindah-indahnya yang pernah aku lihat selama perjalanan ini.
Langit agak berawan dan sebelum menyelam ke dalam air, matahari itu hilang di
belakang sejumput awan. Tatkala ia kembali keluar, warnanya merah pijar dan
seluruh awan bermandikan cahaya itu, berjuta-juta cahaya merah berkilau-kilau
di atas muka laut. Segera setelah itu lautan seribu warna dari merah dan
lembayung hingga berbagai warna-warni hijau dan kuning. Satu jurai cahaya merah
tetap nyata kelihatan, tepat antara dua pulau hijau kecil, yang makin lama
makin gelap dengan bertambah pudarnya cahaya merah itu. Sebuah perahu yang
didayung oleh satu orang saja, datang laksana bayangan mendekati jurai cahaya
merah itu dan satu saat lamanya perahu itu benderang ditimpa terang dan
menjadikan perahu dan pendayung itu kehidupan di dalam keindahan alam yang
bening dan agung.
Tatkala
aku menoleh ke belakang, kulihat bahwa matahari itu hanya menguasai separuh
alam, sebab di belakangku nampak dunia yang lain, dunia sang rembulan.
Sedangkan dunia yang satu dipesona oleh matahari dan awan, dalam pada itu bulan
telah menaklukkan separuh dunia yang lain dengan cahayanya yang dingin. Ia
telah muncul dari belakang sebuah gunung, yang sekarang kelihatan pula biru
gelap seperti biasa dan jelas pada penglihatan ia tambah lama tambah bersih dan
jernih. Seolah-olah ia menghalau ke muka permainan matahati, sehingga akhirnya
ia mencelup seluruh alam di dalam cahayanya yang lembut bernuansa impian. Maka
tampaklah pula berjuta-juta kerlipan cahaya keperak-perakkan di muka laut, di
atasnya bulan dan beribu-ribu bintang. Semuanya tenang dalam harmoni dan mimpi.
Oh
negeriku.
…
Akan
kusambung ceritaku nanti saat aku telah sampai di Tanah Merah.
*Sedikit penceritaan
dengan mengambil sudut lain dari cerita pengasingan orang-orang yang dahulu dibuang ke Digul, mengambil cerita dari catatan bung Hatta dan surat Sutan Sjahrir.
-Rizki Rinaldi
Komentar
Posting Komentar