Resensi Buku Di Bawah Lindungan Ka’bah


RESENSI BUKU
Judul                : Di Bawah Lindungan Ka’bah
Penulis             : HAMKA
Penerbit           : Gema Insani
Oleh                 : Rizki Rinaldi
Cetakan Pertama, Oktober 2017
X +92 hlm

Hikmah Hikayat        
Padahal adalah “rindu-dendam” atau “cinta-berahi” itu laksana lautan jua, Orang yang tiada berhati-hati mengayuh perahu, memegang kemudi, dan menjaga layer, karamlah ia digulung oleh ombak dan gelombang, hilang di tengah-tengah Samudra yang luas itu, tiada akan tercapai selama-lamanya tanah tepi.
            Hamka menyuguhkan kesucian cinta dengan kesadaran diri atas segala perbedaan, yaitu derajat sseorang pemuda dan perempuan yang dicintainya. Beliau mengkritik adat-adat sosial yang didalamnya bertentangan dengan nilai-nilai luhur itu sendiri, adat strata sosial yang biasa kita temui didunia ini, padahal tidaklah manusia dinilai dari lahirnya saja, melainkan lelakunya yang menjadikannya tinggi dimata Allah, ibadah dan aqidah. Beliau menyampaikan bahwa cinta yang suci bebas rasa keinginan yang berlebihan dan mampu menahan hawa nafsu. Melalui dua tokoh utamanya, Hamid dan Zainab, Hamka meniupkan pesan bahwa hanya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah mengatur segala sesuatu yang terbaik untuk hambanya, serta kepada Allah lah kita menyerahkan harap, cinta sekaligus takut.
Doa di Kota Suci
“Ya Rabbi, Ya Tuhanku, Yang maha pengasih dan penyayang! Bahwasanya di bawah lindungan ka’bah, rumah engkau yang suci dan terpilih ini, saya menadahkan tangan memohon karunia. Kepada siapakah saya akan pergi memohon ampun, kalau bukan kepada Engkau, ya Tuhan! Tidak ada seutas tali pun tempat saya bergantung lain daripada tali Engkau; tidak ada satu pintu yang akan saya ketuk, lain daripada pintu Engkau, saya hendak menuruti orang-orang yang dahulu dari saya, orang-orang yang bertali hidupnya dengan hidup saya, Ya Rabbi, Engkaulah yang mahakuasa, kepada Engkaulah kami sekalian akan kembali…”
(hlm. 85)
            Ketika membaca doa tersebut Hamka menyanyat hati pembacanya melalui teks dan konteks, melalui susunan kata yang suci dan bersih hanya mengharap kepada sang pencipta namun juga konteks penempatan doa tersebut, bukan hanya latar tempatnya yang dibacakan di kota suci, namun juga latar kondisinya yang membuat pembaca berempati pada Hamid. Karakter yang selalu mampu menarik perhatian lebih pembacanya, mengajak pembaca lebih berperan dan merasakan langsung dialog dan surat-surat yang ditulisnya.
Kandungan Buku
            Jika anda ingin merasa cukup dengan hanya menonton film dibawah lindungan kabah yang selalu diputar di idul adha untuk mendapatkan pesan cerita dari buku ini, saya khawatir anda akan selamanya kehilangan kesempatan membaca salah satu karya sastrawan besar Indonesia, buku ini sejatinya membawa pesan yang tidak terlalu banyak maupun berat, tapi kemampuan Hamka mengemasnya dengan berbagai perangkat puitika dan menyusun konstruksi cerita dengan melayu yang kaya.

“Hidupmu yang tiada mengenal putus asa, kesabaran dan ketenangan hatimu menanggung sengsara, dapatlah menjadi tamsil dan ibarat kepada kami.
Engkau telah mengambil jalan yang lurus dan jujur di dalam memupuk dan mempertahankan cinta.
Allah adalah mahaadil. Jika sempit dunia ini bagimu berdua, maka alam akhirat adalah lebih luas dan lapang, di sanalah kelak makhluk menerima balasan dari kejujuran dan kesabarannya; di sanalah penghidupan yang sebenarnya, bukan mimpi dan bukan tonil.
Kami pun dalam menunggu titah pula sebab ada masanya datang dan ada pula masanya pergi.
Selamatlah, moga-moga Allah memberi berkah atas jiwamu dan jiwa Zainab”
Hlm. (91)

-Rizki Rinaldi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Kepulangan Matahari

Mencuri Sepertiga Malam

Review Buku Tetralogi Laskar Pelangi