8 Perkara dalam Hidup

Dikisahkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri r.a.              
             Dikisahkan suatu hari ketika nabi Rasulullah ﷺ saat memasuki masjid mendapati Abu Umamah, seorang pemuda yang tengah termenung, tatkala yang lain sibuk dengan perniagaannya dipasar, pengembelaannya di tanah lapang, dapur yang harus terus mengepul, Abu Umamah justru menghabiskan waktunya di dalam masjid dengan merenung. "Wahai Abu Umamah, mengapa pada saat seperti ini aku melihatmu terduduk tafakkur, dan pada wajahmu keliatan ada menampakkan muram durja? Apakah yang engkau derita saat ini?" tanya Rasulullah ﷺ. Abu Umamah menjawab, "Aku ditimpa duka cita ya Rasulullah ﷺ, hutang telah lama, janji sudah dekat, persediaan buat membayar belumlah ada, itu yang saya menungkan disini ya Rasulullah ﷺ.”
            Disinilah kemudian Rasulullah ﷺ mengajarkan untuk menghindari 8 perkara yang merusak identitas yang harusnya tegak, yang menyebabkan keterpurukan dan hambatan dalam mencapai ketaqwaan. Dan teruslah memohon kepada Allah dengan doa yang diajarkan beliau untuk dibaca tatkala pagi dan petang. “Sudikah engkau kalau aku ajarkan kepadamu suatu bacaan, apa bila bacaan ini engkau baca pagi-pagi dan di tiap petang dengan khusyuk, insyaallah hutangmu akan terbayar”

Mudah-mudahan bacaan ini yang akan selalu menemani pagi dan petang para pembaca.
" اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
"Allahumma inni a'udzubika minal hammi wal hazani wa a'udzubika minal 'ajzi wal kasali wa a'udzubika minal jubni wal bukhli wa a'udzubika min ghalabatiddaini wa qahrirrijali"
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau daripada kesusahan dan duka cita. Aan aku berlindung kepada Engkau dari kelemahan dan kemalasan. Dan aku berlindung kepada Engkau dari sifat pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan hutang dan kesewenang-wenangan manusia."
1.     Susah: apabila orang telah susah maka pikirannya pun sudah tertumbuk, jalan untuk maju terasa tiada lagi. Padahal dalam kehidupan ini, jalan para manusia bukanlah jalan lurus mendatar yang bertaburkan kembang. Kehidupan itu mendaki, menurun, melereng, berenang, walau ditiup ombak dan gelombang, pastilah itu yang terjadi. Lantas apa yang disusahkan ? Kusut!, tak ada kusut yang tak selesai, keruh!, tak ada keruh yang tak jernih. Apa bila pikir sudah susah lebih dulu maka lelaplah jalan yang kita tempuh ke muka dalam kehidupan tadi.
2.     Duka cita: banyak hal yang menyebabkan dukacita. Kehilangan orang yang dicintai, barang yang dicari tak bertemu, orang yang ditunggu sudah lama tak pula datang, mara bahaya yang datang tak disangka-sangka. Apabila kesusahan membuat jalan kehidupan menjadi kusut, kedukaan menjadikan jalan kehidupan menjadi gelap.
Kalau berbiduk jangan bermenung,
kalau termenung riak pun tiba.
Kalau duduk jangan bermenung,
kalau termenung hati pun iba
3.     Lemah: lemah pikiran, kehilangan energi, ketiadaan inisiatif, belum menghadapi suatu soal hati telah lebih dulu merasa lemah, padahal bila dihadapi tiada kusut yang tak bisa diselesaikan, tiada keruh yang tak bisa dijernihkan.
4.     Malas: tubuh apabila sudah malas hilang yang akan dikerjakan, tinggal meng-angan-angan. Ingin ini ingin itu tapi tiada ikhtiar. “mati Belanda karena pangkat, mati Cina karena kaya, mati Keling karena makanan, mati melayu karena angan-angan”
5.     Pengecut: pengecut ini menjadikan separo dari kehidupan manusia menjadi gagal
putuslah tali layang-layang
robek kertas di tentang bingkai
hidup jangan mengepalang
tidak kaya, berani pakai
Hidup jangan setengah-setengah, tiada bermodal, gunakan keberanian. Rugi harta benda belumlah patut disebut rugi karena harta dapat dicari. Rugi keberanian samalah artinya dengan separuh kerugian. Jika rugi kehormatan, jatuh martabat dan gengsi, itulah rugi sebenarnya.
6.     Kikir: dikumpulkannya harta siang malam, dengan maksud menguasai harta akhirnya ia yang dikuasai hartanya. Akhirnya faedah tidak didapatnya.
7.     Berlindung dari pada berhutang: “iyyakum waddaina, Fainnahu hammum billaili, wamadzallatun finnahari” Jagalah, sebisa mungkin tidak berhutang. Hutang itu, susah pada malam hari, Kalau siang hari badan terasa hina
8.     Berlindung dari 
pada kesewenang-wenangan orang lain: kemerdekaan yang tidak ada lagi, karena terlalu banyak hutang budi, sehingga tidak berani lagi menyampaikan kebenaran, yang haq, hati sudah dipenuhi segan. empat amalan sulit dikala empat; memberi maaf disaat marah, berbuat taat dikala sendiri, berbuat baik dikala diberi susah, berkata benar terhadap orang yang ditakuti atau diharapkan jasanya.

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Itulah delapan perkara yang ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ kepada Abu Umamah, pemuda yang termenung. Dapatlah kita ambil pedomannya bahwa yang amat penting terlebih dahulu ialah kemerdekaan jiwa.
Didalam negara yang telah merdeka serentak kita menyorakkan, meliuk lambaikan kemerdekaan. Tetapi banyak pula yang lupa, bahwa negara telah merdeka dirinya sendiri telah menjadi terjajah, bukan oleh Belanda karena sudah lebih 70 tahun belanda terusir dari Indonesia. Tapi penjajahan yang datang dari pada sifat-sifat yang lemah. Kesusahan, kedukaan, lemah, malas, pengecut, bakhil, terlilit hutang, berada dibawah kesewanang-wenangan orang lain.
Hati yang marah mendorongkan, hati yang iba menjauhkan, sebab itu haruslah kita bersedia membesarkan jiwa kita sendiri Kepala terangkat, harga diri dijaga.
Semoga lisan ini senantiasa menjadi lisan yang selalu membaca doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ tatkala pagi tatkala petang, agar kelak diberikan rahmatNya, diberikan olehNya di kanan dan kiri berupa kekayaan dan ditiap perjalanan berupa inspirasi. 


-Rizki Rinaldi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Kepulangan Matahari

Mencuri Sepertiga Malam

Review Buku Tetralogi Laskar Pelangi