Amanah, Hanya Untuk Orang-Orang Kuat, atau Penguat Diri ?


Menyortir Amanah
“Amanah tak pernah memanggil orang hebat, tapi amanah menghebatkan orang yang terpanggil”.
Kalimat singkat yang pernah disampaikan oleh mas Narendra Rangga Reswara pada diskusi online di grup Keluarga Inspirasia BEM FK-KMK UGM beberapa waktu lalu. Bagi para pengikut diskusi online yang sedang terkantuk-kantuk pasti akan mendadak melek dan mencoba memahami kalimat tersebut, luar biasa makjleb sekali kalimat ini. Pengemban amanah yang mana yang tak merasa hebat kala kalimat itu dilontarkan? Mungkin kita semua sempat melambung tinggi, jauh hingga menembus langit ke tujuh, kemudian mengitari angkasa raya, yang dikelilingi oleh jutaan bintang bertebar di hektaran langit Allaah yang maha luas (alay bet yahhh). Kita merasa hebat karena terlalu sering mendapatkan amanah yang tak jarang membuat orang-orang di  sekitar kita berpikir bahwa “We’re the superman, busily productive”.
Namun pernahkah kita merenung dan mulai menerka kembali memori yang masih tersisa, mengingat satu per satu amanah di kampus dari mulai ketika kita masih unyu-unyu terlahir sebagai maba fresh hingga sekarang menjadi maba yang sudah tidak fresh lagi (Mahasiswa Baru tahun ke 2, ke 3, ke 4, dan seterusnya) ?
Menurut Hamka (1990) amanah merupakan pondasi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Amanah merupakan perekat sosial dalam membangun solidaritas di masyarakat yang bertujuan membentuk kerja sama sesama individu (Pulungan, 2006). Tanpa amanah, kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi rusak. Dilihat dari sisi pengertian di atas, amanah memiliki cakupan yang luas dan menjadi inti daripada keberlangsungan kehidupan bernegara. Luas, jelas, dan berat. Begitulah amanah, sampai-sampai mampu menghebatkan pribadi yang biasa saja menjadi luar biasa. Kita sering mendengar para aktivis kampus yang menjelma menjadi pribadi hebat, tangguh, dan menginspirasi. Tak jarang pula yang berkamuflase menjadi idola di kalangan mahasiswa baru maupun mahasiswa bangkotan. Tentu bukan tanpa alasan. Mereka adalah pundak-pundak yang diridhoi Allaah untuk berkarya dan berkontribusi pada almamater. Komitmen mereka mendarah-saraf dan bahkan membuat mata tak sanggup memejam melihat kecintaannya pada almamater serta tanah air Indonesia.
Melihat kalimat mas Naren dan membacanya lagi akan membuat kita kembali. Setelah beberapa detik terbang melayang jauh disana, mari mulai kembali berpijak pada asal muasal kita diciptakan, pada rumah yang akan menemani kita dalam balutan kain kaffan. Tanah! Kita harus berpijak kembali. Mengapa kita terbang jauh hanya dengan kata-kata yang belum tentu berhak menjadi milik kita? Apakah kita sudah merasa hebat? “Amanah tak pernah memanggil orang hebat, tapi amanah menghebatkan orang yang terpanggil”. Apakah sepenuhnya kalimat ini merujuk pada pribadi kita? Sementara, tangan ini dengan enaknya mengayunkan amanah pada pundak lainnya, mata ini setengah menutup saat mengerjakannya, lisan ini berkeluh kesah tak tertahan kesana kemari menceritakan beratnya, kaki ini tak bersegera tergerak kala jam menunjukan sudah waktunya, pikiran sering terbagi oleh hal-hal pengisi kepuasan pribadi semata. Apakah seperti itu yang dimaksud dengan orang hebat karena terpanggil amanah?
         Mungkin kalimat mas Naren tersebut hanya berlaku bagi sebagian manusia. Merekalah aktivis-aktivis Allah yang beruntung. Mereka yang berhasil meluruskan niat, mengemban amanah, mengeksekusinya dengan baik tanpa berkeluh kesah. Merekalah yang paham betul bahwa amanah bukan hanya soal LPJ dihadapan birokrat, melainkan pertanggungjawaban kita kepada Yang Maha Kuasa, memiliki kesadaran Ilahiyah. Maka sudah sepantasnya merekalah yang pantas kita sebut dengan julukan “Si Hebat”. Sedang kita, pernahkan kita berpikir untuk menjadi hebat juga? Tentunya dengan tetap meluruskan niat karena Allaah SWT. Tentu pernah bukan?
     Kita bukan hendak memaparkan tips dan trik menjadi “ Si Hebat” seperti yang mas Naren katakan. Kita hanya berusaha menjadi versi terbaik diri dengan mengingat kembali kemampuan kita yang mungkin sering kita abaikan. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi hebat manakala tubuh kita terasa sangat lelah karena tiga agenda organisasi beriringan jalannya. Bagaimana mungkin kita akan menjadi hebat ketika waktu terus bergulir tapi kita tak mampu mengaturnya. Bagaimana mungkin kita akan menjadi hebat jika masih selalu memberatkan sebelah dan mengesampingkan salah satu atau bahkan amanah lainnya?
        Kuncinya hanya satu bukan? Sortir amanah tersebut dan fokuslah. Yang selalu menjadi masalah bagi setiap dari kita adalah keengganan untuk berkata “tidak”. Padahal, kalau sampai kita mengambil seluruh amanah yang datang, akan banyak resiko yang sewaktu-waktu dapat menyapa. Mungkin saja kita bisa sakit, mungkin saja kita menjadi dzolim terhadap akademik atau bahkan kepada amanah lainnya. Bukan maksud untuk tak mengambil setiap kesempatan yang ada. Tapi lebih kepada menyortir amanah apa yang sekiranya kita mampu, kita bisa, kita percaya, dan akan baik-baik saja untuk ke depannya. Jangan sampai karena terlalu berambisi untuk menjadi hebat kita malah menjadi dzolim pada amanah lain di luar sana.
       Sebab kita perlu mengetahui seberapa optimal kita dapat memberikan kontribusi. Karena jika kita hanya memikirkan apa yang dapat kita terima seperti halnya julukan “Si Hebat” misalnya, kita hanya punya tolak ukur yang ringan, lemah dalam meniatkan hingga hanya menimbulkan mudharat dan kelalaian ketika amanah sampai kepada kita. Pikirkan baik-baik apa yang perlu menjadi prioritas dan fokuslah! Kapasitas setiap kita adalah berbeda. Maka cobalah pahami diri sendiri dengan segala keterbatasannya.
Kadang kita perlu bijak kepada diri sendiri. Kita perlu mengingat bahwa dalam sehari hanya ada 24 jam. Kita perlu sadar bahwa tangan kita hanya dua, kaki kita pun dua, mata kita hanya dua, telinga kita dua, dan mulut kita hanyalah satu, serta hidung kita yang hanya satu meskipun berlubang dua. Sudah sepantasnya kita menjadi dewasa untuk mengelola setiap kesempatan yang datang. Tapi jangan sampai hal tersebut membuat kita lalai kepada amanah lainnya. Lagi pula Allah menciptakan manusia dengan kemasan yang sangat komplit lengkap beserta kelemahan dan kelebihannya. Jadi mulailah bijak pada diri sendiri untuk memilah setiap amanah. Agar keoptimalan dapat dicapai dan biarlah Allaah yang menghebatkan kita dengan amanah tersebut. Selamat berproses dan berjuang. Semoga Allaah hebatkan kita-kita yang bersedia menemui panggilan amanah dan tak lagi mengecewakannya. Semoga apa-apa yang kita niatkan selalu dalam ridho-Nya.
Referensi:
Agung, I M., Husni D. 2016. Pengukuran Konsep Amanah dalam Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. 43 (3) : 194-206.
Ditulis oleh Wahida, insyaallah manusia Hebat



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Kepulangan Matahari

Mencuri Sepertiga Malam

Review Buku Tetralogi Laskar Pelangi