Amanah, Hanya Untuk Orang-Orang Kuat, atau Penguat Diri ?
Menyortir
Amanah
![](https://i.pinimg.com/originals/68/2d/83/682d83cdee2e4ed607d94cabf322cc7e.jpg)
![](https://i.pinimg.com/originals/68/2d/83/682d83cdee2e4ed607d94cabf322cc7e.jpg)
“Amanah
tak pernah memanggil orang hebat, tapi amanah menghebatkan orang yang
terpanggil”.
Kalimat
singkat yang pernah disampaikan oleh mas Narendra Rangga Reswara pada diskusi
online di grup Keluarga Inspirasia BEM FK-KMK UGM beberapa waktu lalu. Bagi
para pengikut diskusi online yang sedang terkantuk-kantuk pasti akan mendadak
melek dan mencoba memahami kalimat tersebut, luar biasa makjleb sekali kalimat ini. Pengemban amanah yang mana yang tak
merasa hebat kala kalimat itu dilontarkan? Mungkin kita semua sempat melambung
tinggi, jauh hingga menembus langit ke tujuh, kemudian mengitari angkasa raya,
yang dikelilingi oleh jutaan bintang bertebar di hektaran langit Allaah yang
maha luas (alay bet yahhh). Kita merasa hebat karena terlalu sering mendapatkan
amanah yang tak jarang membuat orang-orang di
sekitar kita berpikir bahwa “We’re
the superman, busily productive”.
Namun
pernahkah kita merenung dan mulai menerka kembali memori yang masih tersisa,
mengingat satu per satu amanah di kampus dari mulai ketika kita masih unyu-unyu
terlahir sebagai maba fresh hingga
sekarang menjadi maba yang sudah tidak
fresh lagi (Mahasiswa Baru tahun ke 2, ke 3, ke 4, dan seterusnya) ?
Menurut
Hamka (1990) amanah merupakan pondasi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Amanah merupakan perekat sosial dalam membangun solidaritas di
masyarakat yang bertujuan membentuk kerja sama sesama individu (Pulungan,
2006). Tanpa amanah, kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi rusak.
Dilihat dari sisi pengertian di atas, amanah memiliki cakupan yang luas dan
menjadi inti daripada keberlangsungan kehidupan bernegara. Luas, jelas, dan
berat. Begitulah amanah, sampai-sampai mampu menghebatkan pribadi yang biasa
saja menjadi luar biasa. Kita sering mendengar para aktivis kampus yang
menjelma menjadi pribadi hebat, tangguh, dan menginspirasi. Tak jarang pula
yang berkamuflase menjadi idola di kalangan mahasiswa baru maupun mahasiswa
bangkotan. Tentu bukan tanpa alasan. Mereka adalah pundak-pundak yang diridhoi
Allaah untuk berkarya dan berkontribusi pada almamater. Komitmen mereka
mendarah-saraf dan bahkan membuat mata tak sanggup memejam melihat kecintaannya
pada almamater serta tanah air Indonesia.
Melihat
kalimat mas Naren dan membacanya lagi akan membuat kita kembali. Setelah
beberapa detik terbang melayang jauh disana, mari mulai kembali berpijak pada
asal muasal kita diciptakan, pada rumah yang akan menemani kita dalam balutan
kain kaffan. Tanah! Kita harus berpijak kembali. Mengapa kita terbang jauh
hanya dengan kata-kata yang belum tentu berhak menjadi milik kita? Apakah kita
sudah merasa hebat? “Amanah tak pernah memanggil orang hebat, tapi amanah
menghebatkan orang yang terpanggil”. Apakah sepenuhnya kalimat ini merujuk pada
pribadi kita? Sementara, tangan ini dengan enaknya mengayunkan amanah pada
pundak lainnya, mata ini setengah menutup saat mengerjakannya, lisan ini
berkeluh kesah tak tertahan kesana kemari menceritakan beratnya, kaki ini tak
bersegera tergerak kala jam menunjukan sudah waktunya, pikiran sering terbagi
oleh hal-hal pengisi kepuasan pribadi semata. Apakah seperti itu yang dimaksud
dengan orang hebat karena terpanggil amanah?
Mungkin
kalimat mas Naren tersebut hanya berlaku bagi sebagian manusia. Merekalah
aktivis-aktivis Allah yang beruntung. Mereka yang berhasil meluruskan niat,
mengemban amanah, mengeksekusinya dengan baik tanpa berkeluh kesah. Merekalah
yang paham betul bahwa amanah bukan hanya soal LPJ dihadapan birokrat,
melainkan pertanggungjawaban kita kepada Yang Maha Kuasa, memiliki kesadaran
Ilahiyah. Maka sudah sepantasnya merekalah yang pantas kita sebut dengan
julukan “Si Hebat”. Sedang kita, pernahkan kita berpikir untuk menjadi hebat
juga? Tentunya dengan tetap meluruskan niat karena Allaah SWT. Tentu pernah
bukan?
Kita
bukan hendak memaparkan tips dan trik menjadi “ Si Hebat” seperti yang mas
Naren katakan. Kita hanya berusaha menjadi versi terbaik diri dengan mengingat
kembali kemampuan kita yang mungkin sering kita abaikan. Bagaimana mungkin kita
bisa menjadi hebat manakala tubuh kita terasa sangat lelah karena tiga agenda
organisasi beriringan jalannya. Bagaimana mungkin kita akan menjadi hebat
ketika waktu terus bergulir tapi kita tak mampu mengaturnya. Bagaimana mungkin
kita akan menjadi hebat jika masih selalu memberatkan sebelah dan
mengesampingkan salah satu atau bahkan amanah lainnya?
Kuncinya
hanya satu bukan? Sortir amanah tersebut dan fokuslah. Yang selalu menjadi masalah
bagi setiap dari kita adalah keengganan untuk berkata “tidak”. Padahal, kalau
sampai kita mengambil seluruh amanah yang datang, akan banyak resiko yang
sewaktu-waktu dapat menyapa. Mungkin saja kita bisa sakit, mungkin saja kita
menjadi dzolim terhadap akademik atau
bahkan kepada amanah lainnya. Bukan maksud untuk tak mengambil setiap
kesempatan yang ada. Tapi lebih kepada menyortir amanah apa yang sekiranya kita
mampu, kita bisa, kita percaya, dan akan baik-baik saja untuk ke depannya.
Jangan sampai karena terlalu berambisi untuk menjadi hebat kita malah menjadi dzolim pada amanah lain di luar sana.
Sebab
kita perlu mengetahui seberapa optimal kita dapat memberikan kontribusi. Karena
jika kita hanya memikirkan apa yang dapat kita terima seperti halnya julukan
“Si Hebat” misalnya, kita hanya punya tolak ukur yang ringan, lemah dalam
meniatkan hingga hanya menimbulkan mudharat dan kelalaian ketika amanah sampai
kepada kita. Pikirkan baik-baik apa yang perlu menjadi prioritas dan fokuslah! Kapasitas setiap kita adalah berbeda. Maka
cobalah pahami diri sendiri dengan segala keterbatasannya.
Kadang
kita perlu bijak kepada diri sendiri. Kita perlu mengingat bahwa dalam sehari
hanya ada 24 jam. Kita perlu sadar bahwa tangan kita hanya dua, kaki kita pun
dua, mata kita hanya dua, telinga kita dua, dan mulut kita hanyalah satu, serta
hidung kita yang hanya satu meskipun berlubang dua. Sudah sepantasnya kita
menjadi dewasa untuk mengelola setiap kesempatan yang datang. Tapi jangan
sampai hal tersebut membuat kita lalai kepada amanah lainnya. Lagi pula Allah
menciptakan manusia dengan kemasan yang sangat komplit lengkap beserta
kelemahan dan kelebihannya. Jadi mulailah bijak pada diri sendiri untuk memilah
setiap amanah. Agar keoptimalan dapat dicapai dan biarlah Allaah yang
menghebatkan kita dengan amanah tersebut. Selamat berproses dan berjuang.
Semoga Allaah hebatkan kita-kita yang bersedia menemui panggilan amanah dan tak
lagi mengecewakannya. Semoga apa-apa yang kita niatkan selalu dalam ridho-Nya.
Referensi:
Agung,
I M., Husni D. 2016. Pengukuran Konsep Amanah dalam Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. 43 (3) : 194-206.
Ditulis
oleh Wahida, insyaallah manusia Hebat
Komentar
Posting Komentar