Sepatu Kets Baru Berkat Keajaiban Ayat Seribu Dinar

Sepatu Kets Baru Berkat Keajaiban Ayat Seribu Dinar
Sedari kecil orangtuaku telah mengajarkanku akan pentingnya arti sebuah perjuangan. Ketika kita memperoleh sesuatu yang telah kita perjuangkan sekuat tenaga dengan usaha sendiri, tentu rasanya akan lebih memuaskan dibandingkan dengan ketika kita memperoleh sesuatu secara instan apalagi dari hasil pemberian orang lain.
Aku masih ingat betul saat aku duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, aku membeli handphone pertamaku yang bermerk no*ia warna merah maroon yang sangat hype pada zamannya dengan uang yang aku dapatkan berkat memenangkan sebuah kompetisi matematika. Bayangkan betapa bahagianya seorang anak SD bisa membeli handphone dengan jerih payah sendiri. Dengan mengerti arti sebuah perjuangan, aku jadi sangat menghargai setiap barang yang aku miliki karena setiap barang menyimpan ceritanya sendiri.
Enam bulan yang lalu, aku mengikuti sebuah kompetisi public speaking dimana hadiahnya cukup lumayan dan seperti biasa aku berniat untuk membeli sebuah barang kenangan dari hasil jerih payahku. Saat itu aku menginginkan sepatu kets baru. Namun di waktu yang bersamaan, aku membutuhkan biaya yang cukup besar untuk penelitian skripsiku sedangkan aku sudah meminta terlalu banyak kepada orangtuaku karena bulan-bulan itu bertepatan dengan tahun ajaran baru dimana orang tuaku harus membayar biaya UKT kuliahku di kedokteran yang cukup besar juga membayar biaya kos di Jogja. Apalagi di tahun ajaran yang sama kedua adikku secara berurutan masuk SMP dan SMA dan tentunya membutuhkan biaya yang tak sedkit. Aku jadi tak tega untuk meminta lebih banyak lagi kepada orangtuaku.
Akhirnya aku memutuskan untuk memakai rezeki yang aku dapatkan untuk penelitian skripsi. Meski toh cuma meng-cover separuh dari keseluruhan biaya penelitian, namun setidaknya aku bisa membantu meringankan beban orangtua. Alhasil setiap kali aku berjalan-jalan bersama teman-temanku di pusat perbelanjaan, setiap kali aku melihat sepatu-sepatu kets tersusun rapi di rak Sport Sta*ion, aku cuma bisa berdzikir dan bersholawat. “Ya Allah, aku ingin sepatu kets baru.”
Suatu hari pamanku dari Kalimantan menghubungiku dan memberi kabar bahwa Beliau sedang berada di Jogja untuk melakukan kunjungan kerja. Aku memangilnya Om Iskan. Om Iskan adalah adik ipar ayahku, usianya masih terbilang muda namun telah memegang jabatan yang cukup strategis di jajaran Pemerintah Kalimantan Timur. Om Iskan mengajakku makan siang dan berbagi kabar karena sudah lama tak bertemu. Terakhir kali kami bertemu adalah 2 tahun lalu ketika aku baru mau masuk ke UGM sedangkan Om telah lepas wisuda S2 dari UGM.
Kebiasaan Om Iskan ketika bertemu dengan keponakan-keponakannya adalah selalu mengajak kami untuk berbincang mengenai masa depan dan membawa kami untuk berpikir selangkah lebih maju. Hingga akhirnya Om Iskan menceritakan tentang kehebatan Abahnya (besan kakekku) yang meninggal beberapa bulan sebelumnya. Sebuah cerita yang sangat inspiratif dan kurasa worth it untuk dibagikan kepada kalian semua. Check it out!
“Ketika Abah (Ayah Om) meninggal, usianya sudah menginjak lebih dari 100 tahun. Beliau adalah seorang pensiunan tentara pejuang kemerdekaan RI yang sangat mencintai tanah airnya. Beliau juga seorang yang teguh imannya dan sangat bertakwa kepada Tuhannya. Hampir setiap tahun Beliau berangkat umroh ke tanah suci. Sejak dulu setiap kali Beliau mengajak umroh bersama, Om selalu menolak dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun Om bersyukur pernah menjalankan ibadah umroh bersama Beliau meski hanya sekali seumur hidup.
Salah satu hal yang benar-benar Om ingat ketika kami berada di tanah suci adalah waktu itu Beliau berbisik kepada Om ‘Seandainya Abahmu ini dipanggil oleh Yang Maha Kuasa di tempat yang penuh berkah ini, jangan lupa pasangkan kain yang ada di dalam koper di atas keranda Abah nenti’. Sungguh merinding Om mendengarnya. Begitu Om membuka koper Beliau, Bella tau apa isinya? (*fyi keluarga dekatku memanggil aku ‘Bella’) Bahkan tidak terpikirkan sama sekali oleh Om dan mungkin oleh kamu juga. Bendera merah putih, Bella. MasyaAllah bergetar hati Om, tak kuasa Om menahan air mata menetes, begitu cintanya Abah kepada tanah air Indonesia.
Ketika bersama Abah pula juga Om benar-benar merasakan keajaiban Makkah Al Mukarramah. Suatu hari selepas Shalat Ashar di Masjidil Haram, kami berjalan-jalan ke toko kaset. Abah bercita-cita untuk membeli kaset yang berisi murattal Imam Nabawi untuk dibagi-bagikan ke setiap masjid yang Beliau singgahi selama perjalanan pulang ke Indonesia. Beliau ingin mendengar masjid-masjid mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran setiap menjelang Sholat Jumat.
Ketika sedang memilih-milih kaset, datang seorang laki-laki Arab berperawakan tinggi besar memakai sorban. Laki-laki itu bertanya apa yang sedang kami cari. Lalu Abah menceritakan niatnya kepada laki-laki itu. Kemudian laki-laki itu membantu kami memilihkan kaset-kaset terbaik dari murattal Imam Nabawi. Setelah terkumpul 2 kantong kresek besar penuh kaset di dalamnya, kami berniat untuk membayarnya.
Ketika sampai di kasir, petugas kasir mengatakan bahwa semua kaset yang kami beli sudah dibayar oleh seorang laki-laki berperawakan tinggi besar. Rupanya laki-laki yang tadi membantu kami. Pandangan kami mencari ke sekeliling, namun laki-laki itu sudah tidak ada. MasyaAllah, keajaiban Makkah bagi seorang hamba Allah yang bertakwa. Begitu mulia niat hamba-Nya hingga Allah pun tak rela hamba-Nya mengeluarkan sepeser pun untuk kebaikan yang ia lakukan.
Di hari lain, kami berjalan-jalan ke toko jam tangan. Ketika itu Abah bertanya, ‘Kamu tak ingin membelikan jam tangan untuk oleh-oleh istrimu?’ ‘Enggak ah, Bah.’ jawab Om. Kemudian Beliau berkata ‘Kalau begitu bolehlah Abah belikan jam tangan untuk menantu Abah.’ Kemudian kami memilih-milih jam tangan. Pilihan kami jatuh kepada sebuah jam tangan cantik berwarna perak. Namun sayang harganya mahal, sekitar 600 riyal sehingga kami enggan membelinya. Oleh karena waktu pun sudah menjelang Ashar, kami bergegas keluar dari toko menuju Masjidil Haram.
Selepas Sholat Ashar Abah bertanya, ‘Tadi kamu berdoa tidak untuk jam tangannya?’ ‘Ah enggak Bah, kan kita nggak jadi beli.’ jawab Om. Lalu Beliau menyahut, ‘Tadi Abah berdoa. Mari kita kembali ke toko tadi.’ Ajaibnya, ketika kami kembali ke toko yang sama dan melihat jam tangan yang sama, harganya berbeda! Harganya sudah turun menjadi 300 riyal sehingga kami langsung membelinya. MasyaAllah, dengan mudahnya Allah mengijabah doa kita di tanah Makkah Al Mukarramah.
Beberapa bulan yang lalu tiba-tiba Abah jatuh sakit, padahal sebelumnya sehat-sehat saja. Saat kondisinya semakin lemah, Abah berpesan agar dari 40 hektar kebun sawit yang Beliau miliki, 25 hektar hasilnya tidak boleh diganggu gugat karena akan digunakan untuk kemaslahatan umat, membangun yayasan, dan lain-lain. Sedangkan sisanya baru boleh diotak-atik oleh anak-anaknya. Abah juga berpesan kepada Om untuk mengambil uang pensiunnya di bank kemudian diberikan kepada salah satu mantan anak buah setianya yang saat ini berprofesi sebagai tukang cukur. Dulu Abah sangat sedih karena saat Beliau diangkat menjadi Tentara Republik Indonesia, Beliau tidak bisa membawa anak buah setianya itu karena ia tidak memenuhi persyaratan minimum tingkat pendidikan sebagai tentara. Padahal anak buahnya itu telah turut berjuang demi kemerdekaan republik ini. Setelah cita-cita untuk menyantuni anak buahnya terkabul, Abah meninggal hanya berselang 3 hari setelah Abah mulai jatuh sakit.
Sepeninggal beliau, Om dan kakak-kakak membongkar lemari Abah. Kami menemukan catatan-catatan dan kuitansi-kuitansi yang tersembunyi di dalamnya. Di situlah kami baru mengetahui bahwa Abah merupakan pemilik sebuah Yayasan Anak Yatim. Pantas saja ketika Abah meninggal, anak-anak yatim berbondong-bondong untuk berziarah. Abah juga merupakan donatur tahunan salah satu Masjid Agung di Banjarmasin.
Hingga saat ini Om masih tak habis pikir bagaimana Abah melakukan manajemen bisnisnya. Seorang pensiunan tentara yang awalnya hanya memiliki sepetak kebun sawit bisa mengekspansi hingga lebih dari 40 hektar. Padahal Beliau harus membiayai pendidikan ke-14 putra-putrinya hingga kami semua lulus menjadi dokter, pejabat pemerintahan, dan lain-lain. Belum lagi untuk membiayai sekitar 10 anak angkat yang salah satunya merupakan seorang mantan narapidana yang pernah membunuh 7 orang. Beliau berhasil membawa mantan narpidana itu dari dunia gelapnya, mengajari sholat, membaca Al-Quran hingga sekarang ia menjadi orang yang lebih baik dan dipercaya untuk dapat bekerja mandiri. Kalau dipikir memang tidak logis, mungkin hanya manajemen langit yang bisa menjawabnya.”
Begitulah Om Iskan mengakhiri kisah tentang Abahnya yang luar biasa sembari menyelesaikan santapan makan siang kami. Beranjak dari tempat makan, Om Iskan mengajakku ke salah satu toko sepatu dan memintaku untuk memilih sepatu yang aku suka. MasyaAllah, ternyata inilah jawaban atas shalawat dan dzikirku setiap melewati toko sepatu. Ternyata rezeki yang aku dapatkan bukan cuma sepatu, melainkan lebih dari itu termasuk ilmu. Ilmu mengenai manajemen langit, bersedekah, serta meniatkan segala hal hanya untuk mencari ridho Allah SWT. dan demi kemaslahatan umat manusia. Aku jadi sadar kalau aku bukan apa-apa, aku bukan siapa-siapa, aku belum melakukan apa-apa untuk kemajuan Islam dan demi kemaslahatan umat manusia.
Kejadian yang aku alami itu mengingatkanku pada ayat seribu dinar, yakni Surah At-Thalaq ayat 2-3 dimana di dalam ayat tersebut tertera janji Allah SWT. bahwasanya Allah SWT. akan memberikan jalan keluar dari setiap cobaan dan memberikan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka, semua itu ditujukan bagi hamba-Nya yang bertakwa.  Dan aku sendiri telah membuktikannya. MasyaAllah. Karena sejatinya rezeki itu tak hanya soal materi, melainkan hal-hal kecil yang terkadang tidak kita sadari.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Kepulangan Matahari

Mencuri Sepertiga Malam

Review Buku Tetralogi Laskar Pelangi