Parsih dan Jalanan Pukul 3 Pagi

Mas Damar tidak pernah mengeluh ketika harus dibangunkan dekat pukul 3 pagi oleh suara mesin motor kharisma Parsih yang menggeber dan berisik, hanya satu kegelisahan mas Damar tiap pagi, yaitu ketika Parsih bertindak gegabah yang bisa jadi karena gelisah, atau memang karena masih lelah. Ketika Parsih gegabah pasti pecah keheningan di rumah petak mereka, bisa jadi karena perabot ada yang jatuh, suara langkah kaki yang diburu waktu, atau bahkan bisa jadi sebatas Parsih yang tidak sabar membuka pintu dan membuatnya bersuara decit yang memang perlu dikasih oli.

“Parsih, sabar sebentar, tenangkan dirimu, pagi nanti Baldan dan Samri harus sekolah, jangan sampai mereka tidak fokus belajarnya karena kita orang tua tidak memberi mereka hak istirahat yang layak”

Mas Damar tidak pernah mengeluh karena kepentingannya sendiri, semua untuk kepentingan keluarga begitu juga Parsih yang mengikat janjinya untuk terus memenuhi kebutuhan Baldan dan Samri. Parsih adalah kawannya jalanan tiap pukul 3 pagi, hanya ada dia dan motor kharismanya sebagai pelintas. Tujuannya jelas dan sederhana, sampai ditempat kerja sebelum adzan subuh, mengupas bawang, mengiris cabai, menanak nasi, semua demi menghadirkan sarapan untuk 500 pelajar dan pengajar di sebuah sekolah asrama.

Pada mulanya Parsih tidak merasakan kejanggalan apa-apa tentang yang akan terjadi pagi itu, seperti biasa Parsih sudah memanaskan mesin motor bahkan sebelum pukul 3 pagi dan seperti biasa pula mas Damar terbangun akan kebisingan Parsih yang memang bisa dikatakan perempuan paling berisik pukul 3 pagi di dusun mereka, saat yang lain lelap tidur, ataupun yang sembayang menunggu panggilan “Assalatu Khairum Minan Naum” Parsih sudah heboh sendiri dengan kendaraan, tas, dan rantangnya untuk segera berangkat dan memasak untuk murid-murid sekolah asrama.

Tapi pagi Parsih saat itu bukan pagi yang biasa, Parsih merasa seluruh panca indranya ditajamkan sepenuhnya, ia dapat merasakan bagaimana cahaya rembulan yang memandikannya begitu hangat, bisa dihitungnya bahwa raja siang matahari sedang berjalan cepat untuk naik keperaduannya dan bertahta menyepuh warna keemasan pada ujung timur, pendengaran Parsih begitu tajam ia mendengar tetes air dari keran air yang tak ditutup rapat dan mendengar grasak-grusuk ayam kampung yang mencari tempat paling nyaman untuk nanti ia berkokok.

“Menyampaikan kabar duka, salah satu perempuan yang sangat berharga dalam pendidikan di sekolah ini, yang hari-harinya dipenuhi senyuman untuk kita semua, yang selalu hangat dan akrab pada siswa, yang tanpa melihat kita bisa mengenalnya karena aroma bawang yang selalu lekat dengannya. Adalah tindakan primitif yang menimpa bu Parsih dalam perjalanannya, dalam kesaksian mereka yang menemukan bu Parsih, beliau meninggal karena berselisih dengan begal dijalanan tepat pukul 3 pagi. Mari kita hantarkan Al-Fatihah kepada pahlawan kita bu Parsih”

Saat matahari mulai naik, Parsih mendapati dirinya berada dalam keramaian yang teramat sedih dengan isakan Baldan dan Samri menjadi suara vokal satu di kerumunan. Parsih sadar ia telah berpisah dengan jasadnya dan semua indra yang ia rasa menajam tadi bukanlah berasal dari jasadnya tapi dari aura jiwa Parsih yang menangkap dunia fisik yang lebih rendah spektrumnya sehingga dapat dipersepsikan lebih tajam oleh Parsih.

“Aku adalah seorang musafir, hari-hariku dimulai saat yang lain lelap dan selesai saat anak-anakku lelap, aku adalah seorang petarung, tak pernah kubiarkan hakku dirampas dan tak pernah kuhalangi orang mengambil haknya, dan pagi ini aku gugur saat mempertahankan hakku, pagi ini perjalananku tidak sendiri dengan cahaya rembulan, orang-orang putus asa mendatangiku secara kasar dan aku melawan, kemauanku sekuat garuda untuk melawan kekejaman tersebut, melawan penindasan tersebut. Pagi ini aku gugur di atas jalanan tempat aku selama ini berjuang, kutinggalkan Baldan dan Samri dengan percaya bahwa mereka akan memahami suatu saat bahwa Ibu mereka telah menuliskan bait dalam hidupnya, ialah berjuang dan melawan kerasnya hidup dengan segala erang dan jeritan yang disimpannya dalam kesehariannya.”



 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Kepulangan Matahari

Mencuri Sepertiga Malam

Review Buku Tetralogi Laskar Pelangi