Review Buku Minhaj: Berislam dari Ritual hingga Intelektual
REVIEW BUKU
Judul
: Minhaj: Berislam
dari Ritual hingga Intelektual
Penulis
: Hamid Fahmy
Zarkasyi
Pertama-tama ijinkan penulis untuk kembali berbicara
tentang buku kembali setelah sekian lama tidak membicarakan tentang buku kepada
pembaca sekalian. Bukan berarti bahwa telah satu setengah tahun lamanya
pribadi ini jauh dari buku, sama sekali tidak dan buku akan selalu menjadi hal
yang paling dekat dalam pribadi penulis, yang berbeda adalah dengan berjalannya
waktu dan dinamika rasa yang dinamis maka berbeda-beda pula cara mengapresiasi
buku.
Ada salah satu buku yang cukup panjang penulis simpan catatannya di jurnal pribadi karena sangat dekat dengan kebutuhan penulis, dan
buku tersebut merupakan buku yang ditulis oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dengan
judul Minhaj. Memahami buku Minhaj adalah memahami bagaimana seorang cendikia
berusaha dengan sesederhana mungkin menggambarkan pemahaman tentang makna dan
cara (minhaj) berislam yang dibedah menjadi tingkat ritual (syari’ah), diikuti
tingkat mental emosional (‘aqidah) yang dijaga dengan ketaqwaan dan dibuktikan
dalam perbuatan sosial (ihsan). Dan ketiga nilai yang digambarkan itu
dijembatani dalam satu langkah besar yaitu berislam secara intelektual yaitu
berfikis secara Islam berbasis pandangan hidup (worldview).
Bagaimana penulis membicarakan buku Minhaj dengan cara
yang paling tepat adalah bahwa buku Minhaj telah berusaha membumikan konsep
berislam, beriman, dan berihsan dengan bahasa yang paling awam dan konsekuensi
ketika penulis mengatakan bahwa buku Minhaj membumikan konsep-konsepnya dalam
bahasa awam sebenarnya adalah untuk mengatakan bahwa kita semua sejatinya masih
awam tentang kebesaran Islam.
4 Kisah Pendahulu
Minhaj mengantarkan maksudnya kepada pembacanya dengan
menyampaikan empat cerita yang paling menohok hati. Berikut dalam review ini
akan penulis rangkum menjadi kutipan
Kutipan pertama; dalam suatu kesempatan Syeikh
Muhammad Abduh menyampaikan pada khalayak umum “Aku melihat islam di Paris,
tapi aku tidak melihat muslim, dan aku melihat muslim di Arab tapi tak melihat
Islam”
Kutipan kedua; dalam kesempatan yang lain Syaikh
Muhammad Basuni Imran bertanya
pada Amir Syakib Arsalan “Mengapa kaum muslimin mengalami kelemahan dan
kemunduran di seluruh dunia? Mengapa bangsa barat maju? Bisakah kita menyusul
dengan tetap teguh memegang agama?
Dijawab oleh Amir Syakib dengan jawaban bahwa
dikarenakan lemahnya iman dan amal umat, yaitu semangat umat islam dalam
berkorban yang rendah dan amal sosial-politik yang dirusak oleh pengkhianatan
pemimpin umat “kaum muslimin mundur karena meninggalkan islam, kaum barat maju
karena meninggalkan agama”
Kutipan ketiga; pada suatu forum Syaikh Mutawali
As-Sya’rawi ditanya seorang orientalis “Mengapa Allah jadikan orang-orang kafir
berkuasa atas kalian? Padahal dalam al-qur’an dikatakan ‘Dan Allah sekali-kali
tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang yang beriman (mukminin)” yang dijawab dalam satu kalimat oleh
Syaikh Mutawali “Karena kami masih muslimin belum mukminin”
Kutipan keempat; adalah saat penulis minhaj (Hamid
Fahmy Zarkasyi) ditanya seseorang “mengapa amal masyarakat muslim semakin
bertambah tapi korupsi dan tindak kriminal masih terus marak di kalangan umat
islam”
Jika pembaca memahami maksud dari buku Minhaj dan
garis besar dalam tiga kutipan tersebut maka pertanyaan pada kutipan keempat
adalah pertanyaan yang dapat dijawab oleh semua pembaca, namun dapatkah pembaca
mengilhami jawaban tersebut dalam memperbaiki diri menuju pada jawaban
tersebut?.
Bagi Muhammad Abduh ada kewajiban sosial umat islam
yang tidak dilakukan tapi justru dilakukan non-muslim. Di depan Syeikh Mutawali
umat islam masih belum mencapai tingkat mukmin sehingga mudah dipecah dan
dikuasai. Begitu pula bagi Amir Syakib bawha tidak ada bekas atau tanda-tanda
keimanan dalam praktek umat, rendahnya etos kerja, dan moral elit pemimpin.
Penutup
Minhaj akan menjadi salah satu buku yang akan
berkontribusi besar dalam literasi Islam Intelektual di Indonesia, dan akan
menjadi pijakan serta tilikan awal ketika membicarakan Islamic Worldview yang
dalam buku ini diberikan penekanannya terhadap konsep Islam, Iman, Ihsan.
Meskipun penulis sangat menikmati buku Minhaj sebagai bacaan yang segar dan
juga cukup eksploratif tentu saja ada momen-momen atau tulisan yang sekiranya
kurang ditangkap dengan baik oleh penulis, mungkin karena penulisannya,
risetnya, atau justru dengan berjalannya waktu dan akumulasi pemahaman ketika
buku ini dibaca lagi akan dapat ditangkap dengan sejatinya oleh penulis.
Beberapa yang masih perlu dibicarakan mengenai buku ini adalah bagaimana ketika
Dr. Ahmad Fahmy berhasil menggambarkan konsepnya dengan sangat baik namun
terasa kurang ketika berbicara tentang “Islamic Worldview” secara keseluruhan
maupun ketika mengangkat sejarah tokoh-tokoh yang mengangkat “Islamic
Worldview” di abad baru ini, dan ketidaknyamanan penulis saat mencerna bagian akhir
yang ingin dijadikan lampiran berupa tanya-jawab Dr. Ahmad Fahmy dalam majelis ilmu yang
rasanya kurang tepat diletakkan di buku ini karena beberapa berada diluar dari
konteks buku ataupun bisa saja tanya-jawab tersebut akan bermasalah karena
dilepaskan dari konteks majelis ilmu tersebut. Sekian penulis berbicara
mengenai buku setelah sekian lamanya tidak dibicarakan dengan medium tulisan
seperti ini, terima kasih.
Komentar
Posting Komentar