Tenggelam dalam Langit Pengharapan Bagian Pertama

Rangkayo, orang terbuang. Seorang laki-laki kurus dengan tinggi tiga perempat tombak orang-orang majapahit dulu, matanya yang kemerahan tampak berair, tiada pasti apakah itu karena lama berkalung duka ataukah karena memang lama dihanyut diatas perahu dan hanya memandang matahari. Sudah dua hari dua malam rang kayo menghiliri sungai kepetang hari, yang kelak disebut batanghari oleh anak beranaknya, disebut kepetang hari karena eloknya sungai tersebut ketika bertentangan dengan matahari sewaktu turun, tiap-tiap petang, setidaknya saat matahari tingginya sudah nampak hanya setiang diatas sungai, batanghari selalu mendapatkan cahaya baru, paduan warna petang itu berbeda dari kemarin, berbeda pula dengan esok. Begitu seterusnya tak pernah sama sepanjang tahun dan sepanjang abad. Tak seorang pun pelukis yang bisa meniru tarian warna sungai batang hari tiap petang tersebut, itulah kuasa Tuhan.

Rangkayo adalah korban kedukaan dari langit pengharapan, Rangkayo tidak kurang masyhur ditempat asalnya, tidak pula kurang harta, daratan asalnya berada bukan main kayanya, masyarakatnya dianugrahi karet, padi, durian, ragam hasil alam yang tinggal ditebar sewaktu dan tinggal dipetik sewaktu, daratan tempat perniagaan selalu membesarkan saudagar besar yang tiap 5 tahun selalu berhaji dan pulang membawa ilmu agama, rajo-rajo banyak berkumpul di barisan tebing batanghari untuk tiap 10 tahun sekali menentukan siapa diantara mereka yang akan memimpin rajo-rajo lainnya menjadi datuk paduko berhalo. Bukan daratannya yang membuat Rangkayo terbuang. Sekali lagi Rangkayo adalah korban dari kedukaan langit pengharapan, langit dan bintang-bintangnya, bumi dan segala isinya, kian hari kian jauh dari Rangkayo, dan  Rangkayo terpencil hidup seorang, sebab disemai bibit kebencian dalam hati. Terpencil dalam alam yang seramai ini! Bibit cinta gagal tumbuh hingga berganti bibit kebencian.




…Pada berapa tahun sebelumnya…

Rangkayo saat itu baru tuntas menimba ilmu di ujung pulau, kalau kawan tau disana ada satu kerajaan besar yang bergelar serambi mekkah bagi muslim di kerajaan sekitar, karena tiap orang haji mestilah lewat sana, kerajaan besar tersebut juga berkawan dengan orang-orang ustmani, tempat yang sangat ideal bagi Rangkayo menimba ilmu, berkawan dengan cendikia yang telah lebih jauh perjalanannya, persis impian Rangkayo waktu itu, berkapal hingga ke yaman, kemudian menunggang unta ke pusat-pusat peradaban.

“Lekaskanlah dirimu berjumpa ikhlas Rangkayo, akan berat dirimu menempuh jarak dan titian bila hatimu masih tertambat pada yang lain, yang engkau tentu tau harus kau lepas” ucap seorang sepuh ditepi dermaga yang letaknya hanya sekitar 300 meter dari tempat rang kayo belajar.

“Tapi engku haji, belumlah terang pada diriku untuk melepas kesempatan tersebut engku, kawan-kawanku telah bersiap semua untuk pergi jauh dari daratan ini, menyelesaikan pengembaraan ilmu mereka bahkan ke tempat engkau guru kami menimba ilmu yang kini kau syiarkan ke pelbagai orang muda engku. Bagaimana berjumpa ikhlas bila hatiku belum berjumpa alasan orang-orang tua di asalku, yang tujuh tahun lalu mengirimku kesini” resah rang kayo, sebulan ini ia memang banyak sekali gelisah dan tiap-tiap petang selalu menghadapkan pandangan kosong ke laut lepas seolah yang dicarinya tak lagi disini.

“Lantas, ingin kau piara terus konflik pada batinmu? Kau datang kesini sebagai seorang pemurung, kitab yang kau baca selalu basah oleh air matamu saat kau pertama datang, parau suaramu diantara senandung yang lain dalam melafalkan Al-qur’an. Aku ajarkan padamu menerobos sudut-sudut pemikiran, agar kau menemukan pandangan yang berbeda tentang nasib, kecerdasan, dan kebahagiaan. Ingat rang kayo, pernah kuajarkan padamu sebuah hadist, Rasulullah berpesan untuk menutup pintu akan kepanjangan was-awas dan keraguan hidup

"Lebih baik segala yang diminta Allah itu bersifat iqtishad (sederhana). Karena rezeki yang telah ditentukan buat kamu, lebih mencari kamu daripada kamu mencari dia. Tetapi yang bukan buat kamu, walaupun kamu cari ke mana, tidaklah akan kamu dapat, walaupun bagaimana awasmu"

Rezekimu rang kayo, lebih tau dimana dirimu daripada kau tau dimana rezekimu. Ingin kau piara terus konflik pada batinmu? Kau telah membuat sendiri rasa takutmu karena kau tak ingin berubah rang kayo”

“Baiklah engku haji, akan terus kuhidupkan hatiku dengan menerima nasehat, nasehat dari dirimu adalah semata untuk kebaikanku juga, akan ku serahkan bagaimana jalanku padaNya engku. Langit sudah memerah tembaga, jika boleh diri ini ingin pamit sebentar untuk menjernihkan pikiran” maka berpisahlah dua guru dan murid ke kediamannya masing-masing.

Rang kayo tinggal di sebuah teratak buruk, jauh berbeda dengan kediaman keluarganya. Sebenarnya rang kayo bisa saja tinggal di sebuah rumah panggung yang dihuni dulurnya juga, tapi karena banyaknya anak-anak disana dan hampir tiap hari selalu didatangi tetamu dari bermacam daerah, rang kayo memilih tinggal sendiri meski didalam teratak yang berlantai tanah beratap tepas, atau anyaman bambu. Disimaknya lagi oleh rang kayo asal kegelisahannya sebulan ini, sebuah surat yang tampak biasa saja, kertasnya mungkin memang lebih bagus daripada yang biasa dipakai rang kayo untuk belajar, tapi hal tersebut memang wajar, kertas ini ditemui dibanyak catatan perniagaan, isinya yang membuat rang kayo gusar. Tulisannya tidak memenuhi seluruh kertas, hal tersebut karena kebiasaan dikeluarganya dalam menulis selalu berbahasa lugas tanpa bermanis kalimat.

“Teruntuk Rangkayo,

Anakku, gurumu engku haji telah berkabar kepada kami bahwa pelajaranmu disana hanya tinggal mengulang penghafalan beberapa kali lagi. Mungkin sebelum bulan puasa selesai sudah pelajaranmu, tujuh tahun engkau sudah dinegeri orang, kami kirim sebagai pengharapan agar kau menjadi seorang laki-laki dewasa yang dapat bertanggung jawab atas dirimu sendiri.

Anakku, prihal ijin engkau untuk ke gurun arab, tangguhkanlah niatmu, kalau kau pergi terlalu jauh, akan jauh juga manfaatmu kepada tanah asalmu, belum pula perjalanan yang akan kau tempuh tak sepenuhnya aman, banyak lanun dalam jalan lautmu, para perompak pengecut yang menjarah niaga, jalan daratmu apalagi, gurun-gurun tersebut merupakan alam yang ganas, tentu lekang dirimu karena panas nantinya, bandit-bandit pun masih banyak menjarah semua yang melekat pada pengembara itu, lagipula engkau ditunggu masyarakatmu disini.

Anakku, rajo paduko berhalo yang baru telah dipilih diantara sembilan lurah yang berapa waktu lalu telah berkumpul di tanggo rajo, datuk temenggu mato merah namanya, seorang yang bijak diantara lurah lainnya, orang bilang ia begitu paham bahwa penggunaan kelemahlembutan jika bukan pada tempatnya menambah kekerasan, sedang bersikap tegas pada tempatnya melahirkan kelemahlembutan sehingga kepemimpinannya diharapkan mendatangkan kemajuan yang besar bagi masyarakat kita.

Anakku, bila sudah pelajaranmu disana, lekaslah pulang, agar bisa kami hantarkan dirimu sebagai penasehat dari datuk temenggu mato merah, kebijaksanaan seorang datuk temenggu mato merah perlu berteman dengan semangat seorang muda dengan ilmu yang sudah khatam baginya, engkau rang kayo, ditunggu masyarakatmu disini, bawalah ilmumu untuk mengatur hukum, dagang, dan kesehatan disini”

Surat dari ayahnya lah yang sebenarnya membuat rang kayo bermuram nurja, dulu ia tak terima harus dirantaukan karena keinginannya menjadi pendekar, bukan ahli hikmah. Setelah bertemu engku haji yang cerdik pandai dan tuo tau, berubah juga pandangan rang kayo hingga sering dia tenggelam dalam keasyikannya membaca kitab dan berdebat ilmu, rang kayo sebelumnya sudah mengajukan izin untuk dibiayai keluarganya yang saudagar untuk berangkat haji dan menjadi musafir mencari dan mengajarkan ilmu karena rang kayo tidak ingin kembali ke asalnya yang baginya tiada tempat untuk seorang pelajar luar sepertinya, anak orang tidak bergelar dan tidak bersuku.

Diambil Rangkayo selembar kertas dan penanya yang entah sudah berapa kali diganti untuk meluapkan semua perasaan rang kayo.

“Aku yang masih diperjalanan hidup saat ini

begitu lama berlegar di persimpangan dunia menempuh jarak dan titian, rimba dan lautan, Mencari sesuatu yang abadi

aku yang masih diperhentian hidup ini

begitu jauh mengembara ke serata dunia, mengejar siang dan malam, surut dan pasang, mencari sesuatu kebebasan, mencari sesuatu kedamaian

di mana berakhirnya perjalananku ini esok dan lusa bukan milikku

oh Tuhanku lindungilah hambamu yang hina ini aku setia hanya padamu…”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merayu Kepulangan Matahari

Mencuri Sepertiga Malam

Review Buku Tetralogi Laskar Pelangi