Kata Orang tentang Badai
Aku sedang menghadapi badai kawan…
Hal yang paling
dekat dengan siapapun itu ialah kematian, sedang hal yang paling jauh ialah
waktu yang telah berlalu, dan aku ingin bercerita tentang waktu yang telah
berlalu itu kawanku.
***
Malam telah
menebarkan selimut hitamnya di atas lembah-lembah, angin yang biasa bersahabat,
yang bahkan siang sebelumnya sempat berpesan-pesan padaku saat ini sedang kalap
dan menderu mencampur debu dan hujan hingga menjadikan perjalananku dilempar
kesana-kemari. Pada saat itulah diriku yang seorang salik, yang memang hidupnya
berasal daripada perjalanan-perjalanan dilempar jauh oleh badai, seperti
dilemparnya nelayan yang patah kemudinya dan terampas tiang layarnya oleh
buasnya lautan, patah sayap-sayapku malam itu.
Kutemukan diriku
selepas malam itu berada dalam kegamangan dan keputusasaan atas titian jalan
yang telah kulalui, tiap setapak liar yang telah kubuat dalam perjalanan itu
semua telah ditutup oleh karena badai sialan kemarin malam juga membawa banyak
sekali dedaunan, reranting dan batang-batang pohon, angin entah kenapa meniup
semua bekas jalan itu, sehingga aku dibiarkan hanya dapat menjilat luka bekas
patahnya sayap-sayapku, tak tau entah apa bisa dilanjutkan perjalanan itu, dan
yang aku lebih tak tau lagi adalah apakah bisa aku tetap hidup tanpa adanya
perjalanan?
***
Sudah banyak
pergantian siang ke malam yang telah kulalui sejak badai malam itu, tak ada
juga sejengkal pun aku membuat setapak baru untuk melanjutkan perjalananku yang
lalu pernah karam. Aku tak bergerak, tapi kawan harus tau, rupa-rupanya diamku
menjadi petaka yang menenggalamkanku lebih jauh lagi daripada sebelumnya, apa
yang terjadi padaku persis seperti apa yang terjadi pada ikan dilaut yang
sepanjang hidupnya selalu berenang meski melawan arus ataupun mengikuti arus
tapi tak pernah sedikitpun garam-garam dilaut itu menjadikannya asin,
perjalanan membuatnya tak dapat dicampuri oleh kerasnya lingkungan, tapi ketika
si ikan dijauhkan, tak mampu lagi bergerak, ia dikeringkan dan semua itu
menjadikan garam-garam kehidupan mencampuri dirinya. Begitulah yang terjadi
pada para pejalan jauh yang tiba-tiba berhenti dan mendiami guanya
masing-masing.
***
Walau sewaktu
masih dalam perjalanan aku sering menggunakan kata asing dan sunyi, sebenarnya
keterasingan dan kesunyian itu lebih banyak mendekap pada korban-korban badai
sepertiku, yang setelah dilempar, mereka merasa kesal dan enggan melanjutkan
perjalanan, orang-orang yang berbicara seperti gemuruh laut tetapi hidup mereka
berakhir dangkal dan mandeg seperti rawa-rawa busuk, orang-orang yang
mengangkat kepala mereka di atas puncak-puncak gunung tapi jiwanya terlelap
dalam gua-gua raksasa.
Berhenti dari sebuah perjalanan bagi seorang salik ialah penderitaan dan pasir hisap yang terus menggerogoti daya hidup si salik, bagi tungku tanpa api, tiada lagi makna untuk si tungku.
Pada saat hidup dalam pemberhentian yang ada hanyalah orang-orang yang memuaskan diri sendiri yang melihat hantu ilmu pengetahuan dalam mimpi mereka dan percaya bahwa mereka telah sampai tujuan,
saat hidup dalam pemberhentian yang ada hanyalah orang-orang yang hanya melihat hantu kebenaran dalam kebangkitan mereka dan berteriak kepada dunia bahwa mereka telah memperoleh hakikat kebenaran yang sempurna,
saat hidup dalam
pemberhentian yang ada hanyalah orang-orang yang memberi penghormatan dan
percaya sepenuhnya bahwa matahari dan bulan serta bintang-gemintang tidak
terbit kecuali dari peti simpanan mereka dan tidak tenggelam kecuali di taman-taman
mereka.
Bagi seorang salik
yang berhenti berjalan akan dikirimkan padanya seorang yang berdiri dekat
hatinya namun jauh dari pandangannya, tetapi berlaku seperti dinding besar
antara dirinya dan pribadi sejatinya, mengikat kekiniannya dengan masa
lampaunya, memberikan bisikan jiwa akan pesan-pesan halus yang rendah dan
tercela, membisikkan jiwa bahwa kita adalah orang-orang lemah tak berdaya,
korban dari kedurjanaan dan wujud ketidakadilan, sehingga telah menjelma rupa
akan jiwa yang nafsu ammarah bi suu’.
***
Begitulah hal yang
paling jauh kawan, yaitu waktuku yang telah berlalu, badai sialan yang pernah
melemparku jauh dari perjalanan dan menutup semua setapak yang pernah kulalui
sebenarnya masih ada didepan sana, tapi tak mungkin untuk terus kukutuki,
sedangkan kesunyian dan keterasingan masih ada dan tiap waktu terus menambah
kemuakkanku atas mereka. Kini badan yang telah lama nian menanggung ini, yang
dipukul banyak sekali derita akan kumintai tolong satu kali lagi, untuk mau
membersamai melewati badai itu, aku pun telah mengusir jauh-jauh seorang yang
berdiri dekat hatiku dan berlaku seperti dinding besar antara diriku dan
pribadi sejatiku, hatiku kini sekali lagi mengikat persetiaan kepada doa-doa
shalih untuk membentuk kembali setapak perjalanan. Perlahan demi perlahan harus
kudapati diri menjadi menjadi pribadi yang tak mengenal kecewa dalam kebaikan,
tak gentar dalam perujian.
Besok, pagi akan
tiba mengangkat selimut malam, badai akan berlalu dan dilalui, sementara langit
akan jernih dan gunung-gunung serta padang-padang akan bersuka ria dalam
kehangatan cahaya matahari. Pada saat itulah aku akan merasakan kebangkitan
jiwa yang menyusup ke seluruh urat-urat tubuhku. Dan saat aku tenang, semua
yang ada di sekitarku hanyalah keindahan dan kesempurnaan belaka.
-Rizki Rinaldi
Komentar
Posting Komentar