Saksi Bisu Merah Putih
17
Agustus 2020
Aku
terlahir di masa yang mencekam, penuh kerahasiaan dan pembatasan kebebasan. Aku
muncul dari buah pemikiran para pendiri bangsa, dengan filosofi yang
menggambarkan negeri ini—tekad yang membara berani berpadu dengan niatan mulia
nan suci. Tubuhku dirajut oleh tangan yang penuh harap, menjadi saksi atas
lahirnya aku sebagai saksi bisu perjuangan bangsa ini. Namaku akan selalu
dikenang, karena akulah Sang Saka Merah Putih.
Kini,
usiaku sudah tua renta, dan tak ada yang bisa kuperbuat selain berdiri tegak
membentangkan pandanganku ke seluruh penjuru lapangan yang telah dihadiri oleh
ratusan bahkan mungkin ribuan orang. Bersua menyuarakan semangat yang begitu
menggelora. Mulai dari sekelompok anak-anak berpakaian merah putih hingga
se-golongan orang berwajah asing dengan pakaian perlente dan jas necis yang
melekat pas di badannya.
Kurasakan angin yang hangat menerpa
badanku ketika tubuhku dibentangkan dengan penuh percaya diri. Aku melihat
perasaan khidmat yang masuk ke dalam relung jiwa orang-orang yang kini sedang
memandangiku dan menaruh hormat dengan simbol penghormatan yang dilakukannya.
Dan perasaanku pun melambung perlahan, membiarkan memori yang menyeruak masuk
ke dalam ingatanku tentang hari ini. Lagu Kebangsaan dikumandangkan oleh
barisan anak muda berseragam putih abu-abu. Tak kusangka aku menitikkan air
mata. Mengenang kembali masa-masa perjuangan itu, saat aku dilahirkan dari
curahan darah dan timbunan tulang belulang para pahlawan yang rela mati demi
terbebasnya negeri ini dari penjajahan.
Tahun 1945
Cuaca
Kota Surabaya terasa begitu hangat malam itu. Bintang-bintang tampak bersinar
bahagia selayaknya kebahagiaan yang menyergap seluruh penjuru kota. Siapa yang
tak bahagia? Jika pengakuan kemerdekaan yang telah dinantikan ratusan tahun itu
akhirnya tiba jua. Seakan terbayar sudah balas dendam akan peristiwa yang
memaksa anak-anak kehilangan ayah mereka, juga para istri muda yang terpaksa
menjanda dini akibat suaminya yang gugur di medan perang.
Namun
tepat pukul 21.00, tak terduga olehku yang saat itu sedang mengagumi
bintang-bintang dari tempatku berada, di atas puncak Hotel Yamato. Terlihat
dari jauh olehku segerombolan pria bertubuh tinggi semampai dengan kulit putih
dan rambut berwarna jagung. Aku mengenali salah satunya sebagai Mr. W. V. Ch
Ploegman, seorang komandan tentara Belanda.
‘Hey, buat apa dia ada di sini?
Bukankah Tentara Belanda telah dipukul mundur dan kini Tentara Sekutu datang
hanya untuk melucuti senjata para serdadu Belanda itu?’, tanyaku
dalam hati.
Malam
berubah menjadi dingin saat tiba-tiba tubuhku dienyahkan dari tempat
keberadaanku yang seharusnya. Kini bukan lagi aku yang berada di puncak Hotel
Yamato. Posisiku tergantikan oleh bendera yang berbeda. Bendera Inggris dan
kolonial! Aku tak lagi bisa menatap bintang-bintang dan langit ibu pertiwi
dengan leluasa. Kini aku harus mendekam di jeruji tempat sampah milik Hotel
Yamato.
Aku
ingin menangis. Bagaimana bisa mereka begitu tega. Aku tak akan menangis jika
ini hanya tentang diriku. Aku cukup kuat untuk menahan itu jika aku mau
mengusahakannya. Aku hanya tak bisa menahan tangisku jika nama bumi pertiwi ini
diinjak-injak oleh perilaku semena-mena yang mereka lakukan. Jika apa yang
mereka lakukan sama sekali tidak menghargai arti kemerdekaan bagi bangsa ini,
Indonesia.
Tiba-tiba
segerombolan pemuda datang. Aku melihat kesungguhan dan kebulatan tekad dari
wajah mereka. Mereka datang untuk mengembalikanku! Sebuah keputusan yang bisa
dibilang tidak mudah, karena nyawa lah taruhannya. Mereka menerjang barisan
serdadu Inggris dan Belanda bersanjata lengkap. Tak peduli dengan hantaman yang
membuat tubuhnya babak-belur.
Dua
orang pemuda berhasil mencapai atap Hotel Yamato, merobek bagian berwarna biru.
Menjadikannya merah putih kembali. Itulah warna yang semestinya! Itulah
warnaku, warna bendera Ibu Pertiwi!
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku makin
samar. Pandanganku buyar. Sedetik kemudian aku baru tersadar bahwa aku tidak
lagi berada di dalam keranjang sampah Hotel Yamato. Kini aku kembali ke tempat
asalku, tempat aku bisa menatap bintang dan langit ibu pertiwi kapan pun aku
mau. Ya, aku kembali berkibar sebagai bendera Indonesia!
Tahun 2018
Seorang
anak berperawakan sedang dan berkulit hitam terbakar sinar mentari sedang lekat
menatap langit Eropa pagi itu. Perasaan yang mengharu biru hatinya membuatnya
ingin menitikkan air mata.
Berada
di tempat yang begitu asing dan modern tak pernah terlintas sedikitpun dalam
mimpinya. Ia adalah seorang bocah kampung tak terkenal dari timur Indonesia.
Namun ia bangga dengan kampungnya. Kampung yang telah mengajarkan ia bagaimana
berproses menjadi dirinya yang sekarang.
Tempat
yang telah menyediakan pasir pantai tuk memberinya pijakan yang menantang untuk
diarungi saat berlatih. Dan dengan matahari nya yang menyengat, ia menjadi
tahan panas dan tahan banting. Ia kuat berlari meskipun berada di tempat dengan
suhu tinggi yang ekstrim.
Seperti
sekarang ini, yang ia alami di sebuah negeri di belahan timur Eropa. Ternyata
Eropa tidak selalu dingin seperti yang ia ketahui. Bahkan suhunya bisa jauh
melampaui suhu musim kemarau di Indonesia, tanah airnya.
Hari
itu akan menjadi torehan sejarah bagi dirinya. Jika ia mampu berjuang melawan
batas-batas yang selama ini mengungkung pikirannya. Bahwa anak bangsa sejatinya
mampu berprestasi di kancah Internasional. Ia ingin meruntuhkan tembok-tembok
yang membatasi dirinya dan jutaan anak Indonesia lain yang ingin percaya, bahwa
kemenangan itu didapat dengan usaha yang sungguh-sungguh, tak peduli dari mana
dirimu berasal.
Ia
memposisikan diri di jalur lintasan miliknya. Tertunduk berdoa dengan
kepercayaan diri dan tekad yang kuat. Peluit panjang dari juri terdengar,
menandakan waktu telah terhitung bagi dirinya untuk menebus rasa penasarannya
akan tanda tanya dan jati dirinya.
Ia
berlari menembus batas-batas yang telah ia robohkan. Satu persatu lawan yang
tubuhnya lebih tegap dan tinggi ia libas dalam hitungan detik. Ia ayunkan
kakinya dengan penuh keyakinan, tak mempedulikan lagi rasa nyeri yang bisa
datang tiba-tiba merenggut harapannya.
Ia
tak boleh salah langkah. Ayunan, pijakan, dan dorongan badannya harus ia kuasai
betul. Jangan sampai menjadi alasan bagi petaka bernama cidera itu untuk datang
menghampiri. Anak kurus berperawakan sedang itu terus melaju melawan terpaan angin
yang memaksanya mundur. Ia lawan rasa penatnya, ia lawan cemoohan orang yang
menyaksikannya. Ia lawan egonya sendiri, demi membayar lunas hutangnya pada
mimpi-mimpi yang ingin ia persembahkan kepada bumi pertiwi, Indonesia.
Garis
finish terlihat di depan matanya. Ia tak peduli lagi sorakan dari bangku
penonton. Ia tak peduli lagi berapa lawan yang ada di depan ataupun
belakangnya. Ia hanya ingin berlari. Ia hanya ingin berlari menjemput mimpinya.
Mengharumkan nama Indonesia.
Menjadi yang pertama di garis finish
kini ia persembahkan! Anak remaja itu menangis haru. Ia seringkali diragukan,
ia yang tak mendapat dukungan. Kini selesaikan mimpinya dengan hasil yang
membanggakan.
Ketika namanya dipanggil ke podium,
ia sadar ada hal yang luput ia persiapkan! 1000 kali tak percaya bahwa ia akan
menjuarai kejuaraan ini. Tim negara lain, Polandia, akhirnya meminjamkan
benderanya kepada anak muda ini. Anak muda itu membalik bendera Polandia, dan
kini terbentanglah aku, bendera merah-putih yang sering kali diacuhkan.
Nyatanya kini aku dapat berkibar di negeri orang, berkat anak bangsa yang juga
selalu diacuhkan.
Diriku kembali melambung dan
merasakan getaran yang menjalar di tubuhku. Badanku lintuh saat perlahan-lahan
aku menjulang tinggi, meskipun tak terdengar suara nyanyian untuk ibu pertiwi,
Indonesia Raya. Tatapan bangga hadir dari ratusan para penonton berkulit albino
dan tak terkecuali dari anak muda berkulit gelap itu. Lalu Muhammad Zohri,
terima kasih karena telah membuat Ibu pertiwi bangga!
Nyanyian lagu Indonesia Raya telah
usai. Perlahan-lahan pandangan tiap orang yang hadir dialihkan dariku yang kini
sudah berkibar dengan gagah di atas sebuah tiang di pelataran Istana Merdeka
demi memperingati usia kemerdekaan Indonesia. Raga ku pun sudah tua renta. Tak
lagi mampu melawan selongsongan peluru yang menghampiri. Tak lagi kuat
menerjang angin yang menghempas saat para pejuang dulu membawaku bersama bamboo
runcingnya. Aku kini hanya bisa berdiri, menyaksikan dan mendoakan para penerus
bangsa ini membangun cita-cita para sesepuh mereka. Seperti Lalu yang dengan
bangganya memeluk erat bendera Indonesia dan mampu memberikan kebanggaan yang
besar bagi Indonesia, atau seperti Hariono dan Kusno Wibowo, 2 saksi sejarah
peristiwa Hotel Yamato yang telah mengembalikan harkat dan martabat bangsa
dengan menebus dirinya demi terkibarnya sang saka merah putih di bawah langit
Surabaya.
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih perih
Dan
aku akan lebih tak peduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi
-Chairil
Anwar
Komentar
Posting Komentar