Kemenangan
KEMANAKAH KEMENANGAN KITA TUJUKAN
Sudah lama sekali diri ini bertanya-tanya
kearah manakah kita menujukan kemenangan kita ?
Perang dunia pertama kala itu sudah selesai
pada tahun 1918, maka setelah itu para panglima perang yang gagah
dipertempurannya telah kembali dan justru menjadi terikat sebagai veteran
perang baik menang ataupun kalah, namun siapa yang menang sesungguhnya ? siapa
yang menjadi pahlawan ? sejarah menyampaikan kemunculan pemenang baru bernama Kemal Pasha, padahal negaranya telah kalah, tapi ia muncul sebagai
pemenang dalam pertarungan fikir dan pengaruh sebagai pemimpin dan diploma.
Sedang panglima-panglima perang tak berbekas namanya.
Perang perjuangan atas melawan penjajahan
juga mencatat pahlawan-pahlawan seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro,
Sultan Hasanuddin sebagai pahlawan yang hidup dan harum namanya, diakui dan
dihormati orang-orang eropa. Mereka telah kalah dimedan perang, tapi mereka
tetap menang secara moral
Aku ingin bercerita
satu lagi pahlawan didalam perang.
Shalahuddin Al-Ayyubi merupakan sosok
panglima yang disegani bawahannya hingga musuhnya, saat sang pembebas
jerussalem mendengar berita Richard The Lion Heart sang raja seberang, musuh
yang dihormatinya sakit parah, maka Shalahuddin Al-Ayyubi dengan kerendahan
hatinya mengirimkan tabib kepada sang raja, tentu kehadiran tabib menimbulkan
curiga, tapi kontan saja tabib sampaikan dirinya dikirim hanya untuk
menyembuhkan yang sakit, sebagai wujud hati emas Shalahuddin Al-Ayyubi, karena
sultan lebih suka melawan musuhnya dalam keadaan sehat agar bisa melanjutkan
pertempuran secara “sehat” pula. Perang rivalitas Shalahuddin Al-Ayyubi dan
Richard The Lion Heart tercatat secara epic dan apik di berbagai buku sejarah,
namun kenyataannya Shalahuddin Al-Ayyubi telah menang perang dimedan budi
sebelum apapun.
Demikianlah jika kita seorang budiman,
seorang muslim yang taat mengerti bagaimana cara memenangkan peperangan, walau
terkadang, orang-orang yang diberikan Allah ujian lebih ini, ketika
mengeluarkan pendapat tak akan lepas oleh yang namanya cibiran orang-orang,
dirinya akan dibenci kebaikannya akan diingkari, kesalahannya akan
dibongkar-bongkar, yang bukan kesalahannya pun bisa dijadikan kesalahannya oleh
tipu muslihat. Jika kita orang biasa, menanggapinya dengan pandangan orang
biasa, tentu rasanya mati adalah satu-satunya tempat sembunyi, hidup hanya
diberi sakit dan pedih. Tapi ketahuilah para budiman, bagi kita yang hatinya
teguh memegang kebenaran bukan pembenaran, yang sudah berprinsip dan menjaga
ketaatan kepada Allah SWT, seumur hidup pasti ada yang membenci, selama diri
masih ber-raga, masih bisa dilemparkan orang kebencian al-Ghazali, ibnul Arabi,
ibnul Hazmin, dll. Dituduh sebagai perusak agama, diperintahkan untuk membakar
karya-karya mereka, tapi apakah nama mereka terbakar ? yang menjadi abu justru
nama-nama pembenci. Begitulah kisah orang-orang yang jalan dijalan kebenaran
yang sepi ini, usia kenangan mereka akan jauh lebih Panjang daripada usia hidup
mereka, sedang para pembenci, tak lagi disebut-sebut namanya.
Kesitulah seharusnya
kemenangan kita tujukan, kemenangan sesudah mati, akan jadi kemenangan yang
berusia jauh lebih panjang, sedang hidup, dikala hidup belumlah terang menang
ataupun kalah, sebab tubuh masih keliatan, orang belum mau mengaku.
Satu nasehat dari buya Hamka tentang
kemenangan,
“bahwasanya tidak ada suatu perkara yang lebih hina dina bagi manusia berakal daripada loba tamak. Tidak ada yang lebih mudharat daripada perebutan menncari pengaruh dan pangkat, apalagi setelah dipakai bujuk sumbu fitnah disini, hasut disana. Suatu bangsa tidak akan dapat memelihara kemuliaan dan martabatnya, melainkan dengan kasih saying, tahu dimana harus tegak. Orang insaf akan posisi, sadar bahwa kemengan tidaklah tercapai jika semua jadi jendral, mesti ada serdadunya, mesti ada tukang masaknya, tukang jahitnya, tukang musiknya, tukang gali tanahnya. Insaf akan kedudukan masing-masing adalah pangkal kemenangan. Kalau semua jadi jendral, tak akan dapat mereka akan kemenangan”.
Pada tahun 1949 tujuh negara arab memerangi
negara Israel, pahitnya tujuh negara arab tersebut mengalami kekalahan pedih,
orang bertanya pada Gamal Abdel Nasser, “Mengapa tujuh negara-negara arab kalah
oleh Yahudi yang hanya satu negara ?” Nasser menjawab “itulah sebabnya kami
kalah, mereka bersatu, sedang kami terpecah tujuh”.
Bilamana telah berebut pengaruh, pangkat,
kemasyhuran, dan lain-lain, perpecahan pun timbullah. Ketika timbullah
kemarahan yang tidak sepatutnya, diperkuda-kuda masyarakat umum untuk
melepaskan kebencian kepada musuh, padahal hanya musuh sendiri, bukan musuh
semua orang.
Referensi : falsafah hidup, buya hamka
-Rizki Rinaldi
Komentar
Posting Komentar