THE TRAP OF MARGINAL THINKING
Assalamualaikum
"Hai para
pemuda, apa yang kau punya ?! apa yang kau tawarkan kepada dunia ini ?! kalau
orang jawa mungkin bilangnya ndue opo koe ?!!"
saya mengutip
kalimat diatas dari salah satu orasi disebuah seminar yang saya ikuti saat itu,
berbeda dengan teman-teman yang sudah mulai bosan dan malas untuk berdiskusi
ataupun mendengar tentang satu-satunya harta pemuda disetiap zaman, saya justru
amat tertarik ketika perbincangan ngalor-ngidul yang awalnya hanya canda
seperti bercerita IPK ataupun cerita lucunya spongebob yang kini episodenya
baru-baru beralih ke pembahasan pembangunan bandara NYIA, PP no 52 th 2017
tentang pelaksanaan pendidikan kedokteran, atau #ILCpanassebelumpilkada..
Kalau sudah bicara
soal pemuda, selalu bicara tentang kekuatan, jelas saja, sejarah semua
perubahan di negri ini yang menggerakkan adalah mahasiswa, bukan
main-main Agent of Change itu, yang main-main adalah kita
dengan integritas kita, balik lagi ke satu-satunya yang dipunyai pemuda, yakni
idealisme, pemuda mempunyai intelektualitas yang mampu untuk membedakan yang
salah dan benar, tegas terhadap perbedaan benar-salah tersebut, bukan
bermain-main dengan melakukan pembenaran sana sini.
Sejarah telah
membuktikan segala kesaktian pemuda dan idealisme nya. Namun, bukan rentetan
sejarah itu yang akan saya sampaikan disini, melainkan bagaimana idealisme yang
tampak sebagai senjata terkuat pemuda juga begitu rapuh akan waktu…
Bagaimana kita
liat bahwa banyak singa dikampus namun melempem dimasyarakat, banyak yang
akhirnya justru terlena oleh pundi-pundi kapital setelah bekerja dikorporat,
pengguling orde baru justru nyatanya juga terlena oleh kekuasaan. Ada apa
dengan cinta ? eh maksudnya ada apa dengan pemuda ? mengapa terlihat sulit
beristiqomah dijalan ini ?
Semua dimulai dari
bagaimana menjalani hidup yang berintegritas… bagaimana mempertahankan
idealisme dimasa yang serba praktis saat ini, menjaga komitmen dan tetap
istiqomah.
Didalam buku how
to measure your life ? karya Clayton M. Christensen ada satu ungkapan
yang saya temui amat menarik. Menjaga 100% lebih mudah dari pada 98%, bagaimana
hasutan untuk melanggar komitmen meski hanya satu kali saja dapat berakibat
fatal dan bagaimana cara berpikir marginal kerap menjadi perusak integritas
dimana kita hanya melihat pencapaian langsung. “the price of doing something
wrong "just this once" usually appears alluringly low. It suckers you
in, and you don't see where that path is ultimately headed or the full cost
that the choice entails.”
Dibuku tersebut
disebutkan tentang sebuah kisah Nick Leeson seorang pemuda yang membuat bankrupt
British merchant bank Barings setelah mengalami kerugian 1.3 milyar
dollar sebelum akhirnya ketahuan. Leeson menyampaikan bahwa cara berpikir
marginal inilah yang membuatnya jatuh kejalan yang tak pernah direncanakannya
sama sekali, awalnya memnag mungkin hanya sebuah kesalahan kecil, namun Leeson
tidak mau mengakuinya dan akhirnya ditutupinya dalam akun trading yang
benar-benar teliti, namun satu hal kecil inilah yang membuatnya sedikit demi
sedikit terjerumus ke arah penipuan. membangkrutkan sebuah bank yang sudah
berdiri 223 tahun dan akhirnya dilelang hanya dengan harga 1 pound.
Cara berpikir
marjinal inilah yang biasanya amat membahayakan. Bagaimana menjaga komitmen
100% sebenarnya justru lebih mudah daripada menjaga komitmen
98%, hasutan biaya marginal “hanya satu kali ini saja”
sepertinya memang tidak dapat terabaikan, namun biaya keseluruhannya
biasanya akan berakhir jauh lebih tinggi.
Lalu bagaimana
dengan mempertahankan Idealisme yang rapuh akan waktu ? sederhananya adalah
menghindari pola pikir marginal “hanya satu kali ini saja” yang meski terlihat
kecil justru yang paling menjerumuskan. Cara berpikir tanpa kompromi inilah
yang menjadi pengawet idealisme pemuda, tidak berkompromi dengan hal-hal kecil
yang kita tau bertentangan dengan komitmen meski hanya satu kali saja.
100% of the time is easier than 98% of the time decide what you stand for, and
then stand for it all the time. The boundary—your personal moral line—is
powerful because you don't cross it; if you have justified doing it once,
there's nothing to stop you doing it again
-Rizki Rinaldi
Komentar
Posting Komentar